Selasa, 28 Februari 2012

Teknologi Penanganan Pascapanen Padi


PENDAHULUAN
Pengertian pascapanen hasil pertanian adalah tahapan kegiatan yang dimulai sejak pemungutan (pemanenan) hasil pertanian yang meliputi hasil tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan sampai siap untuk dipasarkan (Anonim, 1986). Hasil utama pertanian adalah hasil pertanian yang merupakan produk utama untuk tujuan usaha pertanian dan diperoleh hasil melalui maupun tidak melalui proses pengolahan (Anonim, 1986).
Adapun yang dimaksud dengan penanganan pascapanen adalah tindakan yang disiapkan atau dilakukan pada tahapan pascapanen agar hasil pertanian siap dan aman digunakan oleh konsumen dan atau diolah lebih lanjut oleh industri ( Anonim, 1986). Penanganan pascapanen hasil pertanian meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan langsung terhadap hasil pertanian yang karena sifatnya harus segera ditangani untuk meningkatkan mutu hasil pertanian agar mempunyai daya simpan dan daya guna lebih tinggi. Sesuai dengan pengertian tersebut diatas, kegiatan pascapanen meliputi kegiatan pemungutan hasil (pemanenan), perawatan, pengawetan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, penggundangan dan standardisasi mutu ditingkat produsen. Khususnya terhadap komoditas padi, tahapan pascapanen padi meliputi pemanenan, perontokan, perawatan, pengeringan, penggilingan, pengolahan, transportasi, penyimpanan, standardisasi mutu dan penanganan limbah.
Penanganan pascapanen hasil pertanian bertujuan untuk menekan tingkat kerusakan hasil panen komoditas pertanian dengan meningkatkan daya simpan dan daya guna komoditas pertanian agar dapat menunjang usaha penyediaan bahan baku industri dalam negeri, meningkatkan nilai tambah dan pendapatan, meningkatkan devisa negara dan perluasan kesempatan kerja serta melestarikan sumberdaya alam dan lingkugan hidup.
Berdasarkan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa penanganan pascapanen mempunyai peranan yang sangat luas guna mengatasi masalah yang dihadapi petani. Namun demikian, karena terlalu banyaknya masalah yang dihadapi, maka penanganan pascapanen tidak dapat menyelesaikan semua masalah secara sekaligus. Oleh karena itu perlu menetapkan prioritas masalah yang akan diatasi.
Masalah Pascapanen
Masalah utama dalam penanganan pascapanen padi yang dihadapi petani adalah masih tingginya kehilangan hasil selama penanganan pascapanen yang besarnya sekitar 21% (BPS,1996) dan rendahnya mutu gabah dan beras yang dihasilkan. Rendahnya mutu gabah disebabkan oleh tingginya kadar kotoran dan gabah hampa serta butir mengapur mengakibatkan rendahnya rendemen beras giling yang diperoleh (Setyono dkk. 2000). Butir mengapur selain dipengaruhi oleh faktor genetika, juga dipengaruhi oleh teknik pemupukan dan pengairan, sedangkan kadar kotoran dipengaruhi oleh faktor teknis, yaitu cara perontokan. Oleh karena sebagian besar pemanen merontok padinya dengan cara dibanting atau dengan menggunakan pedal thresher, maka gabah yang diperoleh mengandung kotoran dan gabah hampa cukup tinggi.
Kehilangan hasil panen dan rendahnya mutu gabah terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan sehingga sasaran utama penelitian pascapanen padi saat itu dititikberatkan kepada penelitian komponen teknologi pemanenan, perontokan sampai kepada rekayasa sistem pemanenan padi.
Agroindustri padi belum berkembang seperti yang diharapkan, seperti yang terlihat dalam penggilingan padi. Pengusaha penggilingan padi umumnya hanya mengutamakan beras hasil giling, belum memperhatikan secara serius produk samping dan limbahnya.
KERAGAAN HASIL PENELITIAN
KOMPONEN TEKNOLOGI PEMANENAN
Pemanenan
Pemanenan padi merupakan kegiatan akhir dari pra panen dan awal dari pasca panen. Usaha tani padi tidak akan menguntungkan atau tidak akan memberikan hasil yang memuaskan apabila proses pemanenan dilakukan pada umur panen yang tidak tepat dan dengan cara yang kurang benar. Umur panen padi yang tepat akan menghasilkan gabah dan beras bermutu baik, sedang cara panen yang baik secara kuantitatif dapat menekan kehilangan hasil. Oleh karena itu komponen teknologi pemanenan padi perlu disiapkan.
Umur panen
Ada beberapa cara untuk menentukan umur panen padi, yaitu berdasarkan: (1) Umur tanaman menurut diskripsi varietas, (2) Kadar air gabah, (3) Metode optimalisasi yaitu hari setelah berbunga rata, dan (4) Kenampakan malai (Setyono dan Hasanuddin 1997).
Waktu (umur) panen berdasarkan umur tanaman sesuai dengan diskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati,1979; Damardjati dkk.,1981). Cara lain dalam penentuan umur panen yang cukup mudah dilaksanakan adalah metode optimalisasi.Dengan metode optimalisasi, padi dipanen pada saat malai berumur 30 – 35 hari setelah berbunga rata (HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras bermutu tinggi (Rumiati dan Soemadi,1982) Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan petani adalah didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 – 95 % gabah dari malai tampak kuning (Rumiati, 1982).
Alat panen dan cara panen
Alat panen yang sering digunakan dalam pemanenan padi, adalah (1) ani –ani, (2) sabit biasa dan (3) sabit bergerigi (BPS, 1996). Dengan diintroduksikannya varietas –varietas unggul baru padi yang memiliki potensi hasil tinggi dan berpostur pendek, maka terjadi perubahan penggunaan alat panen dari ani-ani ke penggunaan sabit biasa/sabit bergerigi. Dalam pemanenan padi tersebut menyebabkan kehilangan hasil rendah (Damardjati,dkk 1988, Nugraha dkk, 1990 b).
Cara panen padi tergantung kepada alat perontok yang digunakan . Ani-ani umumnya digunakan petani untuk memanen padi lokal yang tahan rontok dan tanaman padi berposter tinggi dengan cara memotong pada tangkainya. Cara panen padi varietas unggul baru dengan sabit dapat dilakukan dengan cara potong atas, potong tengah atau potong bawah tergantung cara perontokannya. Cara panen dengan potong bawah, umumnya dilakukan bila perontokannya dengan cara dibanting/digebot atau menggunakan pedal thresher .Panen padi dengan cara potong atas atau potong tengah bila dilakukan perontokannya menggunakan mesin perontok.
Perontokan
Perontokan padi merupakan tahapan pascapanen padi setelah pemotongan padi (pemanenan). Tahapan kegiatan ini bertujuan untuk melepaaskan gabah dari malainya. Perontokan padi dapat dilakukan secara manual atau dengan alat dan mesin perontok. Prinsip untuk melepaskan butir gabah dari malainya adalah dengan memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai tersebut. Proses perontokan padi memberikan kontribusi cukup besar pada kehilangan hasil padi secara keseluruhan.
Berdasarkan alat perontok padi, cara perontokan dapat dikelompokkan menjadi beberapa cara, antara lain (1) iles/injak-injak, (2) pukul/gedig, (3) banting/gebot, (4) pedal thresher, (5) mesin perontok (BPS,1996) . Perontokan padi dengan cara dibanting dilakukan dengan cara membantingkan atau memukulkan segenggam potongan padi ke benda keras, misalnya kayu, bambu atau batu yang diletakkan pada alas penampung gabah. Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat bervariasi, tergantung kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8 kg/jam/orang (Setyono dkk.,1993) sampai 89,79 kg/jam/orang (Setyono dkk., 2000). Kemampuan kerja pemanen di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta untuk merontok padi dengan cara gebot berkisar antara 58,8 kg/jam/orang (Mudjisihono,dkk,2001)sampai 62,73 kg/jam/orang (Mudjisihono dkk.,1998) Perontokan padi dengan cara gebot banyak gabah yang tidak terontok berkisar antara 6,4 % - 8,9 % (Rachmat dkk., 1993;Setyono dkk.,2001) Untuk menghindari hal tersebut, maka perontokan padi perlu menggunakan alat atau mesin perontok.
Penggunaan mesin perontok menyebabkan gabah tidak terontok sangat rendah, yaitu kurang dari satu persen. Hasil pengujian empat mesin perontok padi Type TH-6 menunjukkan bahwa kapasitas mesin perontok tersebut bervariasi antar 523 kg/jam/unit sampai 1.125 kg/jam/unit tergantung kepada spesifikasi atau pabrik pembuatannya (Setyono,dkk.,1998).Penggunaan mesin perontok dalam perontokan padi, selain dapat menekan kehilangan hasil juga dapat meningkatkan kapasitas kerja.
C. Kehilangan Hasil
Secara nasional kehilangan hasil selama penanganan masih relatif tinggi, yaitu sekitar 21 % dan yang tertinggi terjadi pada tahapan pemanenan sekitar 9 % dan perontokan sebesar 5% (BPS,1988; BPS,1996) Kehilangan hasil panen padi ini akan lebih besar lagi apabila para pemanen menunda perontokan padinya selama satu sampai tiga hari yang menyebabkan kehilangan hasil antara 2,57% -3,12% (Nugraha dkk, 1990 a). Dalam sistem pemanenan padi, proses pemotongan padi dan proses perontokan merupakann satu kesatuan proses yang dilaksanakan oleh tenaga pemanen.
Kehilangan hasil panen padi dipengaruhi oleh (1) varietas, (2) kadar air gabah saat panen, (3) alat panen, (4) cara panen, (5) cara/alat perontokan, dan (6) sistem pemanenan padi (Rumiati, 1982). Kehilangan hasil varietas Memberamo yang mudah rontok saat pemotongan padi (6,36%) lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Cilamaya Muncul (5,11%) (Setyono dkk, 2000).
Perilaku pemanenan juga mempengaruhi besarnya kehilangan hasil padi. Pemanenan padi sistem keroyokan (individual) dengan jumlah pemanen tidak terbatas (lebih dari 150 orang per hektar) mendorong pemanen untuk berebut memotong padi yang menyebabkan banyak gabah rontok (Gambar 1). Perontokan padi dengan cara dibanting/digebot menyebabkan banyak gabah tercecer dan juga banyak gabah tidak terontok. Kehilangan hasil pada sistem keroyokan sebesar 18,9% jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem kelompok 5,9% (Tabel 1).
Jumlah pemanen per hektar dalam pemanenan padi sistem kelompok juga telah diteliti untuk mendapatkan efektivitas kerja seoptimal mungkin dengan tingkat kehilangan serendah mungkin. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kehilangan hasil pemanenan padi secara kelompok dengan jumlah pemanen 20, 30, 40 dan 50 orang, masing-masing menyebabkan kehilangan hasil sebesar 4,3%, 6,58%, 7,57% dan 9,90% (Tabel 2).Ditinjau dari rendahnya kehilangan hasil, maka jumlah pemanen per hektar yang sesuai adalah 20 orang dan 30 orang dengan kemampuan pemanen masing-masing 135,0 dan 132,6 jam/orang/ha (Tabel 2).
Tabel 1 Tingkat kehilangan hasil panen pada berbagai sistem pemanenan.
Kehilangan hasil (%)

Potong padi s/d perontokan
Keterlambatan perontokan 1 malam
Jumlah

1 Keroyokan
18,9
-
18,9 a
2 Ceblokan
13,1
1,2
14,3 a
3 Kelompok
5,9
-
5,9 a
KK (%)


2,9
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT.
Sumber : Setyono dkk (1993).
Tabel 2. Pengaruh jumlah anggota setiap regu pemanen terhadap kemampuan pemanenan dan kehilangan hasil
Jumlah anggota kelompok (orang)
Kemampuan pemanenan s/d pengumpulan (jam/kelompok/ha)
Kemampuan pemanenan s/d pengumpulan (jam/orang/ha)
Kehilangan hasil (%)
20
6,75 a
135,0 a
4,39 a
30
4,42 b
132,6 a
6,58 b
40
2,77 c
110,8 b
7,57 b
50
2,14 c
107,0 c
9,90 c
KK (%)
16,8
9,76
8,17
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut BNT.
Sumber : Nugraha dkk. (1994).
Hasil uji coba empat kelompok jasa pemanen yang masing-masing dilengkapi satu unit mesin perontok padi tipe TH-6, menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen cukup rendah berkisar antara 4,24% sampai 6,80 % (Rachmat dkk. 1993). Kapasitas mesin perontok sangat bervariasi, tergantung kepada pabrik pembuatnya. Mesin perontok TH6-Quick, TH6-Klari, TH6 Aceh dan TH6-Quick-Modifikasi masing-masing memiliki kapasitas kerja 360,5 kg/jam, 697,0 kg/jam, 961,0 kg/jam dan 1.143,1 kg/jam, sedangkan gabah yang tidak terontok masing-masing 0,84%, 0,64%, 0,84% dan 1,54% (Rachmat dkk, 1993).
Kelompok jasa pemanen dan kelompok jasa perontok terus berkembang, terutama didaerah Jawa Tengah ,Daerah Istimewa Yogyakarta , Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan daerah Bali. Uji coba empat kelompok pemanen dan kelompok jasa perontok dengan luas panen masing-masing setengah hektar atau lebih telah dilakukan pula di daerah Karawang pada Bulan Juni sampai September 1994. Percobaan ini dilaksanakan dilahan petani. Pemanenan padi dengan sistem kelompok tersebut menyebabkan kehilangan hasil panen padi berkisar antara 4,3% sampai 4,9% ternyata jauh lebih rendah dibandingkan pemanenan padi dengan sistim keroyokan ini, yang besarnya 15,2%-16,2% (Tabel 3). Pemanenan padi dengan sistem keroyokan tersebut,perontokan padi dilakukan dengan cara dibanting/gebot.
Kapasitas mesin perontok bervariasi antara 523,4 kg/jam sampai 1,125,3 kg/jam yang menyebabkan gabah tidak terontok berkisar antara 0,31% sampai 0,97% (Tabel 3). Penggunaan mesin perontok selain dapat meningkatkan efisiensi kerja, juga dapat mengurangi besarnya kehilangan hasil. Pemanenan padi dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan mesin perontok dapat menyelamatkan hasil panen dari kehilangan sekitar 10% atau lebih (Tabel 3).
Tabel 3. Kapasitas operasional keempat mesin perontok dan tingkat kehilangan hasil pada beberapa sistem pemanenan padi
Sistem pemanenan
Alat perontok
Kapasitas perontokan (kg/jam)
Gabah tidak terontok (%)
Kehilangan hasil dari panen sampai perontokan (%)
Kelompok A
TH6-Klari
780,5 b
0,45 b
4,7 b
Kelompok B
TH6-Aceh
969,0 b
0,31 b
4,4 b
Kelompok C
TH6-Quik
523,4 c
0,83 a
4,9 b
Kelompok D
TH6-Quik-M
1.125,3 a
0,97 a
4,3 b
Keroyokan-1
Gebot
-
-
15,2 a
Keroyokan-2
Gebot
-
-
16,3 a
KK (%)

11,21
23,65
21,59
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% BNT
Sumber : Setyono dkk. (1998).
PENERAPAN PEMANENAN PADI DENGAN SISTEM KELOMPOK
Perbaikan sistem pemanenan padi dalam usaha menekan kehilangan hasil panen, dilakukan dengan cara pembatasan jumlah pemanen dalam area panen dan perontokan padi menggunakan mesin perontok. Pemanenan padi dengan sistim kelompok perlu terus disosialisasikan kepada pemanen dan petani dan petani dan di uji cobakan.
Pengujian pemanenan padi dengan sistem kelompok telah dilaksanakan di daerah Ciasem Subang pada bulan Agustus sampai September 1999. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan hasil panen pada sistem kelompok sebesar 4,89% jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem keroyokan yang besarnya 16,17% (Tabel 4).
Tabel 4. Data hasil pengamatan ubinan, hasil panen dan kadar air saat panen pada dua sistem pemanenan padi
Lokasi

1
2
3

A. Sistem keroyokan (individual)



1. Hasil ubinan (kg/ha)
7513,60
7388,80
6982,00
7294,80
2. Hasil panen riil (kg/ha)
6155,61
6381,35
5808,13
6115,03
3. Kehilangan hasil (%)
18,07
13,63
16,81
16,17
4. Kadar air gabah (%)
21,86
21,31
21,27
21,48
B. Sistem kelompok




1. Hasil ubinan (kg/ha)
6354,00
7529,00
6994,29
6959,10
2. Hasil panen riil (kg/ha)
6017,93
7164,74
6677,74
6620,06
3. Kehilangan hasil (%)
5,29
4,84
4,53
4,89
4. Kadar air gabah (%)
21,20
21,19
23,10
21,83
Sumber : Setyono dkk. (2000).
Besarnya kehilangan hasil pada pemanenan padi sistem keroyokan karena pada saat pemotongan padi, pemanen saling berebutan memotong padi, pengumpulan pemotongan padi tergesa-gesa dan saat perontokan padi dengan cara dibanting, banyak gabah tidak terontok. Pengamatan yang terpisah terhadap jumlah gabah yang tercecer saat pemotongan padi secara keroyokan juga dilaksanakan di Daerah Kabupaten Bandung, Subang dan Karawang. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gabah yang rontok saat pemotongan padi cukup tinggi, rata-rata 6,07% (Tabel 5). Jumlah gabah yang rontok tersebut dipengaruhi oleh varietas padi. Gabah yang rontok untuk varietas Memberamo adalah yang paling tinggi, yaitu 6,54%, menyusul varietas IR-64 (6,36%), varietas Way Apo Buru (6,28%) .dan yang terwndah Cilamaya Muncul (5,11%) (Tabel 5).
Usaha petani untuk mengatasi pemanenan padi sistem keroyokan dan masalah pengasak telah lama dilakukan dengan sistem ceblokan. Pemanenan padi sistem coblokan dilakukan oleh pemanen dalam jumlah terbatas, yang sebelumnya ikut tanam padi atau merawat tanaman padi tanpa mendapatkan upah. Orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa mendapatkan ijin dari penceblok. Panen padi dengan sistem ceblokan ini masih juga menimbulkan kerugian bagi petani, karena keterlambatan panen, akibat penceblok ikut panen keroyokan lebih dulu di tempat lain.
Berdasarkan masalah yang terjadi seperti tersebut di atas, petani di daerah Cilamaya, Karawang sudah mulai sadar untuk mengurangi kehilangan hasil tidak ada jalan lain lagi bahwa panen padi harus dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan mesin perontok. Namun demikian karena jumlah mesin perontok padi sangat jauh dari memadai dibandingkan dengan luas areal panen, usaha perkembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok di Jalur Pantura Jawa Barat terasa sangat lambat. Berbeda dengan daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kepemilikan lahan yang sempit dengan areal panen per blok yang tidak luas, maka jumlah kebutuhan mesin perontok dan pedal thresher mencukupi dan berkembang pesat. Selain itu mekanisme sistem pemanenan padi sudah tertata dengan cukup baik, maka proses perontokan padi dapat dilakukan di halaman rumah atau di dalam pendapa pada malam hari.
Tabel 5. Persentase gabah rontok/tercecer beberapa varietas padi saat pemotongan padi pada pemanenan padi sistem keroyokan.
No. Petani
Lokasi/Kabupaten
Varietas
Kadar air gabah saat penen (%)*
Gabah rontok (kehilangan) (%)*
1
Bandung
IR64
23,8
5,99
2
Subang
IR64
21,2
6,78
3
Subang
IR64
23,1
5,38
4
Karawang
IR64
22,0
6,48
5
Karawang
IR64
22,5
6,96
6
Karawang
IR64
22,5
6,74
7
Karawang
IR64
23,0
6,20



R (22,6)
R (6,36)
8
Bandung
Memberamo
21,4
5,00
9
Bandung
Memberamo
21,5
6,09
10
Subang
Memberamo
22,0
6,98
11
Subang
Memberamo
21,8
7,14
12
Karawang
Memberamo
22,5
6,90
13
Karawang
Memberamo
22,0
7,15



R (21,84)
R (6,54)
14
Bandung
Way Apo Buru
21,7
6,31
15
Subang
Way Apo Buru
22,4
6,38
16
Subang
Way Apo Buru
22,8
6,83
17
Karawang
Way Apo Buru
23,7
5,93
18
Karawang
Way Apo Buru
23,0
5,95



R (22,9)
R (6,28)
19
Karawang
Cilamaya Muncul
24,0
5,11
20
Karawang
Cilamaya Muncul
23,5
5,10



R (23,8)
R (5,11)
Keterangan : * Rata-rata dari tiga ulangan pengamatan
R ( ) = Rata-rata
Sumber : Setyono dkk. (2000).
Titik kritis terjadinya kehilangan hasil pada pemanenan padi, terutama pada (1) pemotongan padi, (2) pengumpulan potongan padi, dan (3) pada proses perontokan. Kehilangan hasil tersebut umumnya disebabkan oleh perilaku para pemanen atau penderep baik karena tidak disengaja maupun disengaja. Pemotongan padi yang berebutan menyebabkan banyak gabah rontok dan tercecer termasuk kehilangan hasil yang tidak disengaja. Tetapi dalam pengumpulan potongan padi, ada malai-malai padi yang ditinggalkan untuk nantinya diambil kembali, ini merupakan kesengajaan dari pemanen. Sedangkan dalam proses perontokan padi dengan cara gebot (dibanting), banyak gabah yang terlempar keluar alas perontokan tanpa disengaja. Tetapi ada pula pemanen dengan sengaja membantingkan padi hanya beberapa kali, kemudian jerami dibuang, sehingga masih banyak gabah yang belum terontok. Kondisi ini mendorong tumbuhnya para pengasak yang seringkali menimbulkan kerugian bagi petani
Penerapan pemanenan padi sistem kelompok dengan menguji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok serta pengamatan langsung terhadap ceceran gabah menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada pemanenan sistem kelompok relatif rendah, 3,75% (Tabel 6). Rinciannya adalah sebagai berikut (a) gabah rontok saat pemotongan padi, 1,56%, (b) gabah dari malai yang tercecer, 0,85% dan (c) gabah yang ikut pembuangan jerami dari mesin perontok sebesar 1,34% (Tabel 6). Sebaliknya kehilangan hasil pada sistem keroyokan sangat tinggi, yaitu 18,75%. Rincian besarya kehilangan hasil tersebut adalah, (a) gabah rontok saat pemotongan padi 3,31%, (b) gabah dari malai yang tercecer 1,86%. (c) gabah tercecer saat penggebotan (perontokan) sebesar 4,97%, dan (d) gabah yang tidak terontok 8,59% (Tabe 6). Penggunaan mesin perontok selain dapat meningkatkan efisiensi kerja, juga dapat mengurangi kehilangan hasil, gabah yang tidak terontok sangat rendah, sehingga mencegah timbulnya pengasak..
Tabel 6. Besarnya kehilangan hasil panen dan persentase gabah yang tercecer dari dua sistem pemanenan padi
Sistem Keroyokan
Sistem Kelompok

1
2
3
Rerata
1
2
3
Rerata


Kehilangan hasil riil (dihitung secara langsung)
1.
Gabah rontok saat pemotongan (%)
3,72
3,07
3,15
3,31
1,33
1,33
2,02
1,56
2.
Gabah dari malai yang tercecer setelah pengumpulan (%)
2,67
1,13
1,83
1,88
1,08
1,11
0,36
0,85
3.
Gabah tidak terontok setelah digebot yang diasak (%)
8,97
7,50
9,30
8,59
-
-
-
-
4.
Gabah tercecer saat perontokan cara gebot (dibating) (%)
4,46
5,62
4,84
4,97
-
-
-
-
5.
Gabah ikut pembuangan jerami dari mesin perontok (%)
-
-
-
-
1,25
0,89
1,88
1,34
6.
Kehilangan hasil riil (%)
19,82
17,32
19,12
18,75
3,66
3,33
4,26
3,75
Sumber : Setyono dkk. (2001).
Pengamatan terhadap kehilangan hasil panen yang dihitung secara tidak langsung juga dilakukan pada lahan yang sama. Kehilangan hasil yang dihitung secara tidak langsung merupakan perkiraan. Penghitungan kehilangan hasil secara tidak langsung adalah selisih antara berat gabah bersih hasil panen ubinan dengan berat gabah bersih hasil panen riil, dihitung pada kadar air yang sama dan dinyatakan dalam persen. Hasil penghitungan tersebut menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen pada sistem keroyokan sebesar 18,82% dan pada sistem kelompok sebesar 4,01% (Tabel 7). Angka tersebut menunjukkan total kehilangan hasil dan tidak menunjukkan kehilangan hasil pada tiap-tiap tahapan pada pemanenan padi. Jika dilihat besarnya kehilangan hasil pada metode pendugaan (tidak langsung) (Tabel 7) ternyata hasilnya tidak jauh berbeda dengan total kehilangan hasil dari seluruh tahapan pemanenan (Tabel 6). Dengan demikian pendugaan kehilangan hasil secara tidak langsung tersebut mendekati kebenaran.
Tabel 7. Hasil panen ubinan dan hasil panen riil serta perkiraan kehilangan hasil pada dua sistem pemanenan padi.
Sistem Keroyokan
Sistem Kelompok

1
2
3
Rerata
1
2
3
Rerata

1.
Berat gabah hasil panen ubinan (kg/ha)
6.627
6.944
8.357
7.309
6.560
6.720
8.078
7.119

Kadar air gabah (%)
22,30
22,74
23,06
-
22,39
21,47
21,06
-
2.
Berat gabah hasil panen ubinan (kg/ha)
5.307
5.745
6.746
5.933
6.305
6.462
7.730
6.833

Kadar air gabah (%)
22,30
22,74
23,06
-
22,39
21,47
21,06
-
3.
Perkiraan kehilangan hasil (%)
19,94
17,27
19,28
18,82
3,88
3,84
4,30
4,01
Sumber : Setyono dkk. (2001).
Serangkaian penelitian dan pengujian yang telah dilaksanakan secara berkesinambungan membuktikan bahwa pemanenan padi dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan mesin perontok dapat menyelamatkan hasil panen dari kehilangan lebih dari 10%. Pemanenan padi dengan sitem kelompok telah berkembang di berbagai daerah Jawa Tengan antara lain Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Sragen, Semarang, Pekalongan, Batang, Pemalang, dan Brebes. Pengembanagan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok di Jawa Timur meliputi derah Lamongan, Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Probolinggo, dan Banyuwangi. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta kelompok pemanen telah berkembang di daerah Kulon Progo, Gunung Kidul dan sedikit di daerah Bantul,. Khususnya di Propinsi Jawa Barat pemanenan padi dengan sistem baru mulai berkembang di Kecamatan Cilamaya dan Telagasari di Kabupaten Karawang dan Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung.
Pengembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok akan menyangkut masalah manusia sebagai pemanen, adat kebiasaan yang mereka lakuakan bertahun-tahun dan dari segi sosial. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui pendekatan kepada pemuka masyarakat, petani andalan dan para pemanen. Salah satu cara yang paling baik untuk mengembangkan pemanenan padi sistem kelompok adalah melalui demonstrasi, penyuluhan dan kerjasama dangan instansi terkait, termasuk Dinas Pertanian, Penyuluh Pertanian, Balai Penelitian dan Balai Pengkajian, pemuka masyarakat, petani dan pemanen serta Pamong Desa.
MASALAH PENGASAK
Pengasak merupakan salah satu istilah dalam pemanenan padi yang berarti orang diluar tenaga pemanen yang pekerjaannnya mengumpulkan gabah, malai tercecer, padi tidak terpotong atau gabah tidak terontok untuk dirinya sendiri setelah pemanenan dan perontokan selesai. Pada awalnya pekerjaan pengasak ini dilakukan oleh orang-orang tua yang sudah tidak mampu lagi ikut menjadi tenaga pemanen. Oleh karena pendapatan sebagai pengasak cukup memadai, maka banyak tenaga pemanen wanita di jalur Pantura Jawa Barat beralih profesi menjadi pengasak. Tenaga pengasak ini umumnya masih ada ikatan keluarga dengan tenaga pemanen.
Perkembangan pengasak ini akhirnya cenderung kearah hal-hal negatif bagi tenaga pemanen dan sering mengakibatkan kecurangan. Salah satu kecurangan tersebut adalah pemanen merontok padi (membanting) kurang bersih. Selain itu, apabila masih ada ikatan keluarga, pengasak diberi kesempatan untuk mengambil padi yang belum dirontok atau gabah yang sudah terontok. Para pengasak juga tidak segan-segan memberi imbalan kepada pemanen berupa rokok atau bentuk uang, sehingga pengasak dapat leluasa untuk mengambil gabah atau pemanen membanting padi hanya beberapa kali dan kurang bersih.
Hasil pemantauan petani di Kecamatan Cilamaya, Karawang, menceritakan bahwa hampir semua pemanen yang datang dari Indramayu pada tiga tahun terakhir atau mulai tahun 1998 berubah profesi menjadi pengasak. Sejumlah pengasak yang mengelilingi pemanen saat perontokan padi (penggebotan), sering menimbulkan rasa risih bagi pemaenen. Hal ini disebabkan ada kata-kata dari pengasak yang ditujukan kepada pemanen antara lain (1) tidak berperikemanusiaan karena membanting padi secara bersih, (2) pengasak dapat bagian apa, (3) tidak ada rasa sosial dan masih banyak lagi.
Perubahan Karakter Pengasak
Pekerjaan sebagai pengasak lebih ringan dibandingkan pekerjaan sebagai pemanen, tetapi dapat memeperoleh hasil secara langsung dan lebih cepat. Pemanen memotong padi mengumpulkan potongan padi dan diinapkan lebih dulu satu malam dan baru digebot esok harinya. Jadi pemanen memperoleh bawon setelah dua hari bekerja.
Jumlah pengasak terus bertambah karena pekerjaan sebagai pengasak lebih ringan, juga memberi harapan mendapatkan hasil yang lebih baik. Telah disinggung dimuka, bahwa pemanen perempuan dari daerah Indaramayu ke Karawang (Subang) sudah banyak yang berubah bukan sebagai pemanen, tetapi sebagai pengasak. Berkembangnya jumlah pengasak tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) kondisi di lapangan sangat mendukung, yaitu perontokan padi dengan cara dibanting menyebabkan masih banyak gabah tidak terontok, (2) mereka bekerja sebagai pengasak langsung mendapatkan hasil berupa gabah, (3) kurangnya pengawasan atau sulitnya petani melakukan pengawasan karena jumlah pemanen yang sangat banyak, (4) adanya tengkulak yang menampung gabah hasil pengasak.
Makin bertambahnya jumlah pengasak mempersempit ruang gerak mereka dan secara tidak langsung terjadi persaingan antar pengasak. Pekerjaan sebagai pengasak ini sebenarnya tidak disukai oleh petani, karena pengasak dengan berbagai akal berusaha untuk mendapatkan penghasilan. Akibatnya para pengasak ini melakukan hal-hal yang menjurus kepada kecurangan-kecurangan seperti yang dijelaskan di atas. Perubahan peilaku atau karakter pengasak tersebut menyebabkan kerugian besar bagi petani.
Penggunaan Mesin Pemanen Padi
Untuk mengatasi sifat subyektivitas pemanen, meningkatkan efisiensi kerja dan guna mengantisipasi terjadinya kesulitan tenaga kerja, maka telah dilakukan penelitian penggunaan mesin perontok. Dengan semakin berkembangnya kegiatan di luar sektor pertanian, terlihat semakin berkurangnya tenaga kerja pertanian di pedesaan, khususnya tenaga muda yang sudah dan pernah mengenyam pendidikan (Ananto et al., 1992). Dengan semakin terbatas tenaga kerja panen tersebut, perlu meningkatkan efisiensi dalam kegiatan panen, misalnya dengan introduksi alat/mesin panen stripper, reaper dan combine harvester.
Dari unjuk kerja alat terlihat bahwa kapasitas kerja stripper jauh lebih tinggi dibanding panen secara tradisional (manual), sedangkan dan combine harvester Kubota menunjukkan kapasitas kerja tertinggi. Namun demikian penggunaan combine harvester ini membutuhkan banyak persyaratan, antara lain lahan harus cukup kering atau cukup keras agar dapat menahan beban alat, disamping itu tanaman padi yang akan dipanen tidak boleh basah agar tidak terjadi kemacetan di dalam sistem perontokan (Tabel 8). Sedang dari angka kehilangan hasil baik secara kuantitas maupun kualitas terlihat bahwa kehilangan hasil secara kuantitas oleh stripper paling rendah dibanding panen manual dan menggunakan reaper (Tabel 9).
Walaupun penampilan dan hasil uji fungsional mesin pemanen cukup baik dengan tingkat kehilangan hasil rendah, namun keberadaan mesin-mesin pemanen tersebut belum diterima oleh para tenaga pemanen. Para tenaga pemanen sangat menentang keberadaan mesin pemanen karena mereka khawatir akan terdesak oleh penggunaan mesin perontok.
Tabel 8. Kapasitas kerja dan kebutuhan bahan bakar dari berbagai cara dan alat panen
Cara/alat panen
Kebutuhan jam total (jam/ha)
Bahan bakar
(lt/jam)
Manual (sabit-gebot)
252
-
Stripper buatan IRRI
dan thresher TH6 mod.
19
2,1
0,9
Stripper buatan Surabaya
dan thresher TH6 mod.
17
1,9
0,9
Reaper dan
thresher TH6 mod.
17
1,5
1,5
Combine hanvester Kubota
5,05
1,3
Combine haevester Nongyou, tipe jalan
20,17
1,4
Sumber : Purwadaria et al. (1994).
Tabel 9. Kehilangan hasil panen secara kuantitas dan kualitas dari berbagai cara dan alat panen
Kehilangan kualitas

Kotoran
Butir rusak
Butir patah

Manual (sabit-gebot)
9,4
0,5
0,7
5,4
Stripper IRRI dan thresher TH6-Mod.
2,4
0,7
0,2
1,2
Stripper Lokal dan thresher TH6-Mod.
2,5
0,8
0,8
2,2
Reaper dan thresher TH6 mod.
6,1
1,3
1,2
2,0
Sumber : Purwadaria et al. (1994).
KEUNTUNGAN PEMANENAN PADI DENGAN SISTEM KELOMPOK
Pengembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok merupakan salah satu alternatif dalam usaha menekan besarnya kehilangan hasil padi pada pemanenan dan perontokan. Pemanenan padi dengan sistem kelompok memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
Jumlah pemanen yang terbatas akan mudah dilakukan pengawasan dan koordinasi terhadap para pemanen dan juga mempermudah memasukkan teknologi pasca panen kepada pemanen.
Pemanenan padi dengan sistem kelompok akan mendidik para tenaga pemanen bekerja secara profesional, sehingga mudah dilakukan pengarahan.
Kinerja para pemanen dalam bentuk beregu, menghindari para pemanen berebutan dalam memotong padi, mencegah kecurangan pemanen dan mengurangi kehilangan hasil.
Dari hasil penelitian di atas, bila pemanenan padi dengan sistem kelompok diterapkan secara menyeluruh, maka secara optimis sebesar 10% dari total produksi padi dapat diselamatkan dari kehilangan.
Apabila total produksi padi di Indonesia sebesar 49.236.700 ton pada tahun 1998 (BPS, 2000), maka perbaikan sistem pemanenan padi secara nasional dapat meningkatkan produksi padi sebesar 4,9 juta ton.
Jika di tingkat petani total produksi gabah 6.000 kg/ha, maka perbaikan sistem pemanenan padi akan meningkatkan pendapatan petani sekitar 10% atau sebesar 6/7 x 600 kg gabah atau 515 kg gabah, sedangkan pendapatan pemanen meningkat 1/7 x 600 kg gabah atau sekitar 85 kg gabah.
Penggunaan mesin perontok dalam perontokan padi, selain dapat meningkatkan efisiensi kerja, juga menghasilkan gabah yang lebih bersih dan bermutu baik. Harga gabah yang dihasilkan lebih tinggi dari harga gabah yang dihasilkan dari cara gebot/dibanting. Harga gabah tersebut sekitar Rp 20,- sampai Rp 30,- per kilogram gabah lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil gebotan.
Penggunaan mesin perontok menyebabkan gabah yang tercecer minim dan gabah yang tidak terontok sangat rendah, kurang dari satu persen.
Pengembangan usaha pelayanan jasa alsintan yaitu pengelola mesin perontok dan mesin pengolah tanah, diharapkan akan mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel mesin pertanian di pedesaan.
Pengembangan usaha pelayanan jasa alsintan dapat meningkatkan efisiensi kerja baik dalam pengolahan maupun penanganan pascapanen, sehingga dapat mempercepat pengolahan lahan untuk musim berikutnya. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan atau menaikkan Indeks Pertanaman.
Perawatan Gabah Basah
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya yang dihadapi petani adalah penanganan gabah basah hasil panen dimusim hujan. Terbatasnya lantai jemur dan tidak munculnya sinar matahari karena hujan dan sulinya mendapatkan mesin pengering serta mahalnya biaya pengeringan mengakibatkan banyaknya petani mengalami kesulitan dalam menyelamatkan gabah hasil panennya. Akibatnya gabah yang dihasilkan menjadi rusak dan berkecambah. Oleh karena itu perlu dirakit teknologi perawatan gabah basah yang sederhana dengan dengan biaya murah dan mudah diterapkan ditingkat petani.
Pada prinsipnya tujuan dari perawatan gabah adalah mengawasi kecepatan transpirasi, oksidasi dan infeksi hama dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengurangi kadar air gabah sampai kadar air simpan atau menghambat kenaikan suhu dalam tumpukan gabah dengan menggunakan zat higroskopis.
Perawatan gabah dengan alat silo pengering
1. Alat pengering
Silo pengering sirkuler dengan kerangka dari besi siku dan besi plat strip. Dinding luar SPS, dasar dan tutup silo dibuat dari seng plat dengan tebal 2 mm. Silo mempunyai diameter 2000 cm, yang ruangannya dibagi menjadi tiga ruangan untuk tempat gabah berbentuk silindris. Masing-masing ruangan gabah dipisahkan oleh ruangan untuk jalan aliran udara panas, berjarak 10 cm.
Jarak dan dasar tanah sampai dasar silo 70 cm dan tinggi silinder 150 cm. Tutup berbentuk kerucut dengan tinggi 50 cm dan cerobong berbentuk silinder diameter 27 cm tinggi 40 cm. Pada cerobong tersebut dipasang blower untuk menyedot udara lembab dan dalam silo (Gambar 1). Seluruh dinding ruangan gabah dibuat dan kawat kasa aliran udara panas dapat menembus timbunan gabah. Kapasitas SPS 1000 kg.
Sumber panas menggunakan kompor tekan smawar dengan diameter dan titik api 12 – 13 cm. Kapasitas tangki minyak 20 liter.
2. Cara kerja
Pengisian ruang gabah melalui atas sampai penuh, kemudian ditutup dan kompor smawar dinyalakan. Selama pengeringan, suhu ruang di bagian bawah berkisar antara 400C – 410C, sedangkan suhu dibagian atas antara 420C – 430C. Agar kecepatan pengeringan gabah merata, maka setiap tiga jam sekali dilakukan pembalikan dengan cara menurunkan separo dan total gabah kemudian dimasukkan lagi ke bagian atas. Dengan perlakuan penyedotan udara lembab dan dalam silo setiap setengah jam selama 10 menit, kadr air gabah dapat diturunkan dan 25,6% menjadi 16,5% dalam waktu 6 jam. Untuk mencapai kadar air 15% diperlukan waktu 9 jam (Setyono dkk., 1996).
Kebutuhan minyak tanah untuk pemanasan sebanyak 2 liter perjam. Kebutuhan minyak tanah seluruhnya 12 liter (Rp. 3.600,-) dengan memperkerjakan tenaga kerja 2 orang dengan upah masing-masing Rp. 4.000,- maka jumlah biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 11.600,-per 1000 kg gabah lebih murah dibandingkan dengan flat bed dryer.
Beras yang dihasilkan dengan cara ini cukup baik, yaitu rendemen beras giling 66,3% - 67,2%, kadar beras kepala 93,4% - 95,0%, beras pecah 2,5% - 3,3%, butir rusak 1,0% - 1,3% dan tidak terjadi butir kuning (Setyono dkk., 1996).
Pengeringan gabah dengan pengering ABC
Pengering gabah ABC dirancang untuk pengeringan gabah dengan kapasitas menengah (5 ton gabah) dengan biaya murah dengan harapan dapat bersaing dengan biaya penjemuran. Prisip kerja pengering ABC sama dengan flad bed dryer, yaitu udara panas dilewatkan melalui tumpukan gabah, sehingga gabah menjadi kering. Perbedaannya bahwa pengering ABC menggunakan bahan bakar sekam dan pemanasan udaranya tidak langsung dengan blower untuk melewati gabah.
Gabah sebanyak 5 ton pada kadar 22,5% dimasukkan dalam bak pengering dan diratakan. Ketebalan gabah sekitar 50 cm. Selanjutnya tungku sekam dinyalakan dan blower dihidupkan. Dan kadar air 22,5% menjadi 17,92 diperlukan waktu pengeringan 2 jam, dan untuk mencapai kadar air 14,48% diperlukan waktu 4 jam. Kondisi pengeringan adalah suhu plenum 42,70C, suhu gabah 34,770C dan kecepatan aliran udara 7,5 – 90 rn/mm dan kebutuhan sekam sekitar 200 kg (Sutrisno, 1996). Gabah yang dihasilkan bermutu baik.
STRATEGI MENEKAN KEHILANGAN HASIL
Perbaikan sistem pemanenan
Upaya peningkatan produktivitas padi diberbagai sentral produksi padi belum diikuti dengan penanganan pascapanen yang memadahi, sehingga berakibat pada tingginya kehilangan hasil baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kehilangan hasil secara kualitatif lebih banyak terjadi pada panen dan perontokan akibat perilaku para pemanen karena jumlah pemanen yang cukup banyak.
Perbaikan sistem pemanenan padi harus mencakup aspek teknis, aspek sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan tani setempat. Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen dan pengusaha jasa panen dan jasa perontok. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap komponen-komponen sistem, agar dapat menemukan sifat-sifat penting di dalam sistem, sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan keluaran sistem yang dikehendaki.
Sebagai bagian dari pembangunan pertanian, penanganan pascapanen padi diarahkan untuk mengatasi masalah dalam pengembangan sistem usahatani padi, antara lain kehilangan hasil tinggi, mutu beras rendah dan beragam, kurang dan kelebihannya tenaga kerja panen, pengolahan hasil dan efesiensi usahatani. Oleh karena itu strategi penanganan pascpanen padi harus ditempatkan sebagai bagian integral dengan program pengembangan sistem usahatani padi. Dengan demikian pengembangannya harus dimulai dari kegiatan intensifikasi sistem pascapanen padi, perbaikan aspek sosial-ekonomi dan kelembagaan.
Perumusan masalah dan tujuan penanganan pascapanen
Perumusan masalah penanganan pascapanen padi dimulai dengan analisis kebutuhan dari setiap komponen di dalam sistem, sekaligus mengungkapkan masalah-masalah yeng mungkin timbul akibat pertentangan kepentingan dari setiap komponen yang ada di dalam sistem penanganan pascapanen. Secara umum tujuan perbaikan penanganan pascapanen padi adalah :
a. Menekan kehilangan hasil, mulai dari tahap pemanenan sampai dengan penggilingan.
b. Meningkatkan rendemen dan mutu beras giling
c. Menekan biaya penanganan pascapanen dari pemanenan sampai dengan penggilingan.
d. Meningkatkan pendapatan petani pemilik dan buruh panan/penderep.
e. Meningkatkan kelayakan ekonomi dan finansial jasa alsintan pascapanen mulai panen sampai dengan penggilingan.
f. Merekayasa sistem kelembagaan jasa pemanen dan pascapanen yang efektif dan efisien.
Adapun masalah yang mungkin timbul dalam rangka mencapai tujuan perbaikan pascapanen antara lain :
Berkurangnya kesempatan kerja buruh panen (terjadi pengangguran).
Keterlambatan waktu pemanenan.
Hasil kerja alsintan yang rendah
Biaya operasi alsintan pascapanen yang tinggi dan kurang layak secara ekonomi.
Intensifikasi sistem penanganan pascapanen
Pascapanen padi terdiri dari tahapan kegiatan yang dimulai dari tahapan pengeringan dan penggilingan. Di dalam mencapai tujuan sistem, setiap tahap kegiatan dipengaruhi oleh berbagai faktor atau input, baik dari segi biofisik, sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan, yang dalam beberapa hal merupakan faktor lingkungan yang tidak dapat dipengaruhi oleh sistem tetapi sangat mempengaruhi sistem. Faktor-faktor tersebut antara lain iklim/curah hujan, pola tanam, topografi dan sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan serta kebijakan.
Program perbaikan sistem penanganan pascapanen
Program perbaikan penanganan pascapanen dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan wilayah dan (2) pendekatan teknologi. Pendekatan wilayah didasarkan atas pertimbangan persepsi petani sebagai dominan, faktor sosial-budaya dan ekonomi serta kelembagaan. Pendekatan wilayah lebih bersifat "bottom up aproach" dengan memperhatikan tingkat inovasi teknologi faktor sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan panen ditingkat petani termasuk buruh tani. Pendekatan teknologi merupakan "top down aproach" yang lebih didasakan pada kriteria teknis seperti meningkatkan kapasitas dan efesiensi kerja serta perbaikan teknologi alat dan proses untuk meningkatkan rendemen dan mutu beras serta menekan kehilangan hasil.
LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam perbaikan penanganan pascapanen adalah bahwa secara ekonomi perbaikan tersebut dapat memberikan keuntungan/manfaat bagi pihak-pihak yang terkait, antara lain petani pemilik, buruh tani dan pihak pengusaha jasa pelayanan alsintan dan kelompok jasa pemanen. Hal ini menuntut perencanaan yang didasarkan informasi wilayah dan dukungan kelembagaan. Langkah-langkah yang ditempuh dalam perbaikan penanganan pascapanen untuk menekan kehilangan hasil adalah sebagai berikut:
Introduksi sistem penanganan pascapanen
Upaya perbaikan penanganan pascapanen sebaiknya dilakukan secara berkelompok yang bersifat komersial dan mandiri, baik oleh kelompok tani maupun koperasi tani dengan membentuk kelembagaan jasa pengeringan, jasa penggilingan, atau integrasi dari beberapa usaha jasa tersebut dalam bentuk kelembagaan pengembangan agroindustri.
Analisis kebutuhan alsintan
Intensifikasi wilayah pengembangan untuk mengetahui kebutuhan alsintan didasarkan pada pola tanam atau jadwal pengiliran tanaman, beras areal panen inventarisai alsintan, tenaga kerja dan jenis kegiatan yang membutuhkan bantuan alsintan. Analisis kebutuhan alsintan perlu dilakukan untuk mencegah persaingan yang tidak sehat antar pengusaha jasa pascapanen.
Pengadaan alsintan dan pola pembayaran
Oleh karena masih lamanya modal petani, maka untuk sementara, pengadaan alsintan dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai SKIM kredit yang disediakan oleh pemerintah. Jenis SKIM kredit tersebut harus mampu diakses dan dimanfaatkan oleh petani/kelompok tani dan koperasi untuk modal pengadaan alsintan pascapanen. Bagi lokasi/wilayah yang belum atau sulit terjangkau fasilitas kredit, dapat dikembangkan pola pembiayaan yang bersifat swadana dari masyarakat sendiri yang lebih didasarkan pada ikatan tradisi.
Manajemen lapangan
Penyusunan rencana operasi jasa pemanen dilakukan berdasarkan pesanan pekerjaan dari petani. Pesanan pekerjaan tersebut sebaiknya diintegrasikan dalam penyusunan RDKK, sehingga dengan cara ini akan memberikan kepastian pekerjaan bagi kelompok jasa pemanen dan kelompok jasa perontok yang ada di lahan tersebut.
Pengembangan bengkel alsintan
Untuk perbaikan alsintan dapat dikerjakan di lokasi dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan jika perbaikan dilakukan di luar lokasi. Oleh karena itu pembinaan bengkel lokal dapat dimulai dengan memberdayakan bengkel lokal.
Peningkatan kemampuan bengkel biasanya mitra bengkel mendapatkan pelatihan dan bantuan kredit atau kredit peralatan bengkel dari dealer alsintan.
Pelatihan dan pembianaan SDM
Untuk menunjang perbaikan penanganan pascapanen, terutama yang berkaitan dengan pengoperasian alsintandan manajemen keuangan, perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan kepada kelompok jasa pemanen, jasa perontok, jasa pengeringan, industri, baik yang diusahakan secara individual maupun secara berkelompok.
Pembianaan kelembagaan
Untuk mendapatkan perbaikan penanganan pascapanen termasuk kelompok usaha pelayanan jasa pascapanen, diperlukan dukungan kelembagaan, baik dalam bentuk kelembagaan untuk penyebaran informasi teknologi, penyuluhan dan informasi pasar maupun kebijakan yang dapat memberikan kepastian usaha, seperti penetapan S.K. Bupati tentang kelompok pemanenan UPJA dan sebagainya.
PENUTUP
Pemanenan dan perontokan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani padi, karena kedua tahapan pascapanen padi tersebut terjadi kehilangan hasil sangat tinggi. Banyaknya gabah yang tercecer dan gabah tidak terontok akibat perilaku pemanen menyebabkan kehilangan hasil pada kedua tahapan tersebut mencapai lebih dari 15%. Perbaikan pemanenan padi dengan sistem kelompok dapat menekan kehilangan hasil sampai 3,76%, sehingga dapat menyelamatkan hasil dari kehilangan sekitar 10%. Pemanenan padi dengan sistem kelompok merupakan salah satu sumber baru produksi padi, karena dapat menyelamatkan gabah hasil panen dari kehilangan.
Pengembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok selain dapat mengurangi besarnya kehilangan hasil dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan pemanen, juga dapat menunjang peningkatan stok pangan nasional. Kelompok jasa pemanen yang bekerja secara profesional dapat menghindari perbuatan tidak terpuji atau kecurangan dari anggotanya pada khususnya dan para pemanen pada umumnya, serta mencegah tumbuhnya para pengasak.
Usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) dalam mengembangkan kelompok jasa perontok, diharapkan akan mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel alsintan yang membuka lapangan kerja baru di pedesaan. Oleh karena itu penulis menyarankan agar pemanenan padi dengan sistem kelompok terus dikembangkan baik di daerah yang sudah maupun yang belum melaksanakannya. Kerjasama yang baik antara instansi terkait, kelompok tani, pemuka masyarakat, pemuka agama dan tenaga pemanen perlu terus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E.E., M. Djojomartono, K. Abdullah dan Eriyanto, 1992. Perkembangan tenaga pertanian untuk usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang. Suatu pendekatan simulasi sistem. Media Penelitian Sukamandi. No. 11. P4-23.
Anonim, 1986. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1986. Tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian. Jakarta.
Anonim, 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992. Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Departemen Pertanian, Jakarta, Mei 1992.
Ato Suprapto, 1996. Penyusutan Lahan Pertanian Serta Dampaknya terhadap Penyediaan Pangan. Seminar Sehari Penggunaan Data Sensus Pertanian 1993. Biro Pusat Statistik. Jakarta 12 September 1996.
Biro Pusat Statistik, 1996. Survei susut pascapanen MT. 1994/1995 Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog, Bappenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian.
Damardjati, D.S. 1979. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap sifat dan mutu beras. Thesis M.S. Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Damardjati, D.S., H. Suseno, dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen optimum padi sawah (Oryza sativa L.). Penelitian Pertanian 1 : 19-26.
Damardjati, D.S., Suismono, Sutrisno dan U. S. Nugraha. 1988. Study on harvesting losses in difference harvest tools. Sukamandi Research Institute for Food Crops.
Hasanuddin, A., 1996. Strategi dan Langkah Operasional Program Penelitian Tanaman Padi. Prosiding: Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, 23-25 Agustus 1995. Buku I. Hal. 26-45.
Mujisihono, Rob., Sutrisno, dan Agus Setyono, 1998. Evaluasi pemanenan padi Tabela menunjang SUTPA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. BPTP Ungaran. Hal. 42-55
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990a. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan dan mutu. Kompilasi hasil penelitian 1988/1989. Pascapanen. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990b. Penerapan teknologi pemanenan dengan sabit. Kompilasi hasil penelitian 1988/1989. Pascapanen Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Nugraha, S., A. Setyono dan R. Thahir. 1994. Studi optimasi sistem pemanenan padi untuk menekan kehilangan hasil. In Press.
Purwadaria, H.K., E. Eko Ananto, Koes Sulistiadji, Sutrisno dan Ridwan Thahir. 1994. Development of stripping and threshing type harvester. Postharvest Technologies for Rice in The Humid Tropics-Indonesia. Technical Report Sub mitted to GTZ-IRRI Project. IRRI, Philippines. 38p.
Rachmat, R., Setyono dan R. Thahir. 1993. Evaluasi sistem pemanenan beregu menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimex. Vol 4 dan 5, No. 1 (1992/1993). Hal 1-7.
Rumiati dan Soemardi, 1982. Evaluasi hasil penelitian peningkatan mutu padi dan palawija. Risalah Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Cibogo, 5-6 April 1982. Bogor.
Rumiati, 1982. Cara panen dan perontokan padi VUTW untuk menentukan jumlah kehilangan. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Teknologi Lepas Panen No. 13 Sub Balittan Karawang.
Setyono A., dan A. Hasanuddin. 1997. Teknologi pascapanen padi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di BPLPP Cibitung, tanggal 21 s/d 25 Juli 1995.
Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Setyono, A., Sutrisno dan Sigit Nugraha. 1998. Uji coba regu pemanen dan mesin perontok padi dalam pemanenan padi sistem beregu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. BPTP Ungaran. Hal 56-69.
Setyono, A., Sutrisno dan Sigit Nugraha. 2000. Pengujian pemanenan padi sistem kelompok dengan memanfaatkan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Disampaikan pada Apresiasi Seminar Hasil Penelitian Balitpa, Sukamandi 10-11 Nopember 2000.
Setyono, A., Sutrisno, Sigit Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Suparyono dan A. Setyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Setakan III. Jakarta 118 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar