PENDAHULUAN
Pengertian pascapanen hasil
pertanian adalah tahapan kegiatan yang dimulai sejak pemungutan (pemanenan)
hasil pertanian yang meliputi hasil tanaman pangan, holtikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan sampai siap untuk dipasarkan (Anonim, 1986). Hasil
utama pertanian adalah hasil pertanian yang merupakan produk utama untuk tujuan
usaha pertanian dan diperoleh hasil melalui maupun tidak melalui proses
pengolahan (Anonim, 1986).
Adapun yang dimaksud dengan
penanganan pascapanen adalah tindakan yang disiapkan atau dilakukan pada
tahapan pascapanen agar hasil pertanian siap dan aman digunakan oleh konsumen
dan atau diolah lebih lanjut oleh industri ( Anonim, 1986). Penanganan
pascapanen hasil pertanian meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan
langsung terhadap hasil pertanian yang karena sifatnya harus segera ditangani
untuk meningkatkan mutu hasil pertanian agar mempunyai daya simpan dan daya
guna lebih tinggi. Sesuai dengan pengertian tersebut diatas, kegiatan
pascapanen meliputi kegiatan pemungutan hasil (pemanenan), perawatan,
pengawetan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, penggundangan dan
standardisasi mutu ditingkat produsen. Khususnya terhadap komoditas padi,
tahapan pascapanen padi meliputi pemanenan, perontokan, perawatan, pengeringan,
penggilingan, pengolahan, transportasi, penyimpanan, standardisasi mutu dan
penanganan limbah.
Penanganan pascapanen hasil
pertanian bertujuan untuk menekan tingkat kerusakan hasil panen komoditas
pertanian dengan meningkatkan daya simpan dan daya guna komoditas pertanian
agar dapat menunjang usaha penyediaan bahan baku industri dalam negeri,
meningkatkan nilai tambah dan pendapatan, meningkatkan devisa negara dan
perluasan kesempatan kerja serta melestarikan sumberdaya alam dan lingkugan
hidup.
Berdasarkan uraian tersebut diatas
menunjukkan bahwa penanganan pascapanen mempunyai peranan yang sangat luas guna
mengatasi masalah yang dihadapi petani. Namun demikian, karena terlalu
banyaknya masalah yang dihadapi, maka penanganan pascapanen tidak dapat
menyelesaikan semua masalah secara sekaligus. Oleh karena itu perlu menetapkan
prioritas masalah yang akan diatasi.
Masalah
Pascapanen
Masalah utama dalam penanganan
pascapanen padi yang dihadapi petani adalah masih tingginya kehilangan hasil
selama penanganan pascapanen yang besarnya sekitar 21% (BPS,1996) dan rendahnya
mutu gabah dan beras yang dihasilkan. Rendahnya mutu gabah disebabkan oleh
tingginya kadar kotoran dan gabah hampa serta butir mengapur mengakibatkan
rendahnya rendemen beras giling yang diperoleh (Setyono dkk. 2000). Butir
mengapur selain dipengaruhi oleh faktor genetika, juga dipengaruhi oleh teknik
pemupukan dan pengairan, sedangkan kadar kotoran dipengaruhi oleh faktor
teknis, yaitu cara perontokan. Oleh karena sebagian besar pemanen merontok
padinya dengan cara dibanting atau dengan menggunakan pedal thresher, maka
gabah yang diperoleh mengandung kotoran dan gabah hampa cukup tinggi.
Kehilangan hasil panen dan rendahnya
mutu gabah terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan sehingga sasaran utama
penelitian pascapanen padi saat itu dititikberatkan kepada penelitian komponen
teknologi pemanenan, perontokan sampai kepada rekayasa sistem pemanenan padi.
Agroindustri padi belum berkembang
seperti yang diharapkan, seperti yang terlihat dalam penggilingan padi.
Pengusaha penggilingan padi umumnya hanya mengutamakan beras hasil giling,
belum memperhatikan secara serius produk samping dan limbahnya.
KERAGAAN
HASIL PENELITIAN
KOMPONEN TEKNOLOGI PEMANENAN
KOMPONEN TEKNOLOGI PEMANENAN
Pemanenan
Pemanenan padi merupakan kegiatan
akhir dari pra panen dan awal dari pasca panen. Usaha tani padi tidak akan menguntungkan
atau tidak akan memberikan hasil yang memuaskan apabila proses pemanenan
dilakukan pada umur panen yang tidak tepat dan dengan cara yang kurang benar.
Umur panen padi yang tepat akan menghasilkan gabah dan beras bermutu baik,
sedang cara panen yang baik secara kuantitatif dapat menekan kehilangan hasil.
Oleh karena itu komponen teknologi pemanenan padi perlu disiapkan.
Umur
panen
Ada beberapa cara untuk menentukan
umur panen padi, yaitu berdasarkan: (1) Umur tanaman menurut diskripsi varietas,
(2) Kadar air gabah, (3) Metode optimalisasi yaitu hari setelah berbunga rata,
dan (4) Kenampakan malai (Setyono dan Hasanuddin 1997).
Waktu (umur) panen berdasarkan umur
tanaman sesuai dengan diskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya berbeda
berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar
air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu
baik (Damardjati,1979; Damardjati dkk.,1981). Cara lain dalam penentuan umur
panen yang cukup mudah dilaksanakan adalah metode optimalisasi.Dengan metode
optimalisasi, padi dipanen pada saat malai berumur 30 – 35 hari setelah
berbunga rata (HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras bermutu tinggi (Rumiati
dan Soemadi,1982) Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan petani adalah
didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 – 95 % gabah dari malai tampak kuning
(Rumiati, 1982).
Alat
panen dan cara panen
Alat panen yang sering digunakan
dalam pemanenan padi, adalah (1) ani –ani, (2) sabit biasa dan (3) sabit
bergerigi (BPS, 1996). Dengan diintroduksikannya varietas –varietas unggul baru
padi yang memiliki potensi hasil tinggi dan berpostur pendek, maka terjadi
perubahan penggunaan alat panen dari ani-ani ke penggunaan sabit biasa/sabit
bergerigi. Dalam pemanenan padi tersebut menyebabkan kehilangan hasil rendah
(Damardjati,dkk 1988, Nugraha dkk, 1990 b).
Cara panen padi tergantung kepada
alat perontok yang digunakan . Ani-ani umumnya digunakan petani untuk memanen
padi lokal yang tahan rontok dan tanaman padi berposter tinggi dengan cara
memotong pada tangkainya. Cara panen padi varietas unggul baru dengan sabit
dapat dilakukan dengan cara potong atas, potong tengah atau potong bawah
tergantung cara perontokannya. Cara panen dengan potong bawah, umumnya
dilakukan bila perontokannya dengan cara dibanting/digebot atau menggunakan
pedal thresher .Panen padi dengan cara potong atas atau potong tengah bila
dilakukan perontokannya menggunakan mesin perontok.
Perontokan
Perontokan padi merupakan tahapan
pascapanen padi setelah pemotongan padi (pemanenan). Tahapan kegiatan ini
bertujuan untuk melepaaskan gabah dari malainya. Perontokan padi dapat
dilakukan secara manual atau dengan alat dan mesin perontok. Prinsip untuk
melepaskan butir gabah dari malainya adalah dengan memberikan tekanan atau
pukulan terhadap malai tersebut. Proses perontokan padi memberikan kontribusi
cukup besar pada kehilangan hasil padi secara keseluruhan.
Berdasarkan alat perontok padi, cara
perontokan dapat dikelompokkan menjadi beberapa cara, antara lain (1)
iles/injak-injak, (2) pukul/gedig, (3) banting/gebot, (4) pedal thresher, (5)
mesin perontok (BPS,1996) . Perontokan padi dengan cara dibanting dilakukan
dengan cara membantingkan atau memukulkan segenggam potongan padi ke benda
keras, misalnya kayu, bambu atau batu yang diletakkan pada alas penampung
gabah. Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat bervariasi, tergantung
kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8 kg/jam/orang (Setyono
dkk.,1993) sampai 89,79 kg/jam/orang (Setyono dkk., 2000). Kemampuan kerja
pemanen di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta untuk merontok padi dengan cara
gebot berkisar antara 58,8 kg/jam/orang (Mudjisihono,dkk,2001)sampai 62,73
kg/jam/orang (Mudjisihono dkk.,1998) Perontokan padi dengan cara gebot banyak
gabah yang tidak terontok berkisar antara 6,4 % - 8,9 % (Rachmat dkk.,
1993;Setyono dkk.,2001) Untuk menghindari hal tersebut, maka perontokan padi
perlu menggunakan alat atau mesin perontok.
Penggunaan mesin perontok
menyebabkan gabah tidak terontok sangat rendah, yaitu kurang dari satu persen.
Hasil pengujian empat mesin perontok padi Type TH-6 menunjukkan bahwa kapasitas
mesin perontok tersebut bervariasi antar 523 kg/jam/unit sampai 1.125 kg/jam/unit
tergantung kepada spesifikasi atau pabrik pembuatannya
(Setyono,dkk.,1998).Penggunaan mesin perontok dalam perontokan padi, selain
dapat menekan kehilangan hasil juga dapat meningkatkan kapasitas kerja.
C.
Kehilangan Hasil
Secara nasional kehilangan hasil
selama penanganan masih relatif tinggi, yaitu sekitar 21 % dan yang tertinggi
terjadi pada tahapan pemanenan sekitar 9 % dan perontokan sebesar 5% (BPS,1988;
BPS,1996) Kehilangan hasil panen padi ini akan lebih besar lagi apabila para
pemanen menunda perontokan padinya selama satu sampai tiga hari yang
menyebabkan kehilangan hasil antara 2,57% -3,12% (Nugraha dkk, 1990 a). Dalam
sistem pemanenan padi, proses pemotongan padi dan proses perontokan merupakann
satu kesatuan proses yang dilaksanakan oleh tenaga pemanen.
Kehilangan hasil panen padi
dipengaruhi oleh (1) varietas, (2) kadar air gabah saat panen, (3) alat panen,
(4) cara panen, (5) cara/alat perontokan, dan (6) sistem pemanenan padi
(Rumiati, 1982). Kehilangan hasil varietas Memberamo yang mudah rontok saat
pemotongan padi (6,36%) lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Cilamaya
Muncul (5,11%) (Setyono dkk, 2000).
Perilaku pemanenan juga mempengaruhi
besarnya kehilangan hasil padi. Pemanenan padi sistem keroyokan (individual)
dengan jumlah pemanen tidak terbatas (lebih dari 150 orang per hektar)
mendorong pemanen untuk berebut memotong padi yang menyebabkan banyak gabah
rontok (Gambar 1). Perontokan padi dengan cara dibanting/digebot menyebabkan
banyak gabah tercecer dan juga banyak gabah tidak terontok. Kehilangan hasil
pada sistem keroyokan sebesar 18,9% jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem
kelompok 5,9% (Tabel 1).
Jumlah pemanen per hektar dalam
pemanenan padi sistem kelompok juga telah diteliti untuk mendapatkan
efektivitas kerja seoptimal mungkin dengan tingkat kehilangan serendah mungkin.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kehilangan hasil pemanenan padi secara
kelompok dengan jumlah pemanen 20, 30, 40 dan 50 orang, masing-masing
menyebabkan kehilangan hasil sebesar 4,3%, 6,58%, 7,57% dan 9,90% (Tabel
2).Ditinjau dari rendahnya kehilangan hasil, maka jumlah pemanen per hektar
yang sesuai adalah 20 orang dan 30 orang dengan kemampuan pemanen masing-masing
135,0 dan 132,6 jam/orang/ha (Tabel 2).
Tabel 1 Tingkat kehilangan hasil
panen pada berbagai sistem pemanenan.
Kehilangan
hasil (%)
|
|||
Potong
padi s/d perontokan
|
Keterlambatan
perontokan 1 malam
|
Jumlah
|
|
1
Keroyokan
|
18,9
|
-
|
18,9
a
|
2
Ceblokan
|
13,1
|
1,2
|
14,3
a
|
3
Kelompok
|
5,9
|
-
|
5,9
a
|
KK (%)
|
|
|
2,9
|
Keterangan:
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5 DMRT.
Sumber
: Setyono dkk (1993).
Tabel
2. Pengaruh jumlah anggota setiap regu pemanen terhadap kemampuan pemanenan dan
kehilangan hasil
Jumlah
anggota kelompok (orang)
|
Kemampuan
pemanenan s/d pengumpulan (jam/kelompok/ha)
|
Kemampuan
pemanenan s/d pengumpulan (jam/orang/ha)
|
Kehilangan
hasil (%)
|
20
|
6,75 a
|
135,0
a
|
4,39
a
|
30
|
4,42 b
|
132,6
a
|
6,58
b
|
40
|
2,77 c
|
110,8
b
|
7,57
b
|
50
|
2,14 c
|
107,0
c
|
9,90
c
|
KK
(%)
|
16,8
|
9,76
|
8,17
|
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut BNT.
Sumber
: Nugraha dkk. (1994).
Hasil uji coba empat kelompok jasa
pemanen yang masing-masing dilengkapi satu unit mesin perontok padi tipe TH-6,
menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen cukup rendah berkisar antara 4,24%
sampai 6,80 % (Rachmat dkk. 1993). Kapasitas mesin perontok sangat bervariasi,
tergantung kepada pabrik pembuatnya. Mesin perontok TH6-Quick, TH6-Klari, TH6
Aceh dan TH6-Quick-Modifikasi masing-masing memiliki kapasitas kerja 360,5
kg/jam, 697,0 kg/jam, 961,0 kg/jam dan 1.143,1 kg/jam, sedangkan gabah yang
tidak terontok masing-masing 0,84%, 0,64%, 0,84% dan 1,54% (Rachmat dkk, 1993).
Kelompok jasa pemanen dan kelompok
jasa perontok terus berkembang, terutama didaerah Jawa Tengah ,Daerah Istimewa
Yogyakarta , Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan daerah Bali. Uji coba empat
kelompok pemanen dan kelompok jasa perontok dengan luas panen masing-masing
setengah hektar atau lebih telah dilakukan pula di daerah Karawang pada Bulan
Juni sampai September 1994. Percobaan ini dilaksanakan dilahan petani.
Pemanenan padi dengan sistem kelompok tersebut menyebabkan kehilangan hasil
panen padi berkisar antara 4,3% sampai 4,9% ternyata jauh lebih rendah
dibandingkan pemanenan padi dengan sistim keroyokan ini, yang besarnya
15,2%-16,2% (Tabel 3). Pemanenan padi dengan sistem keroyokan
tersebut,perontokan padi dilakukan dengan cara dibanting/gebot.
Kapasitas mesin perontok bervariasi
antara 523,4 kg/jam sampai 1,125,3 kg/jam yang menyebabkan gabah tidak terontok
berkisar antara 0,31% sampai 0,97% (Tabel 3). Penggunaan mesin perontok selain
dapat meningkatkan efisiensi kerja, juga dapat mengurangi besarnya kehilangan
hasil. Pemanenan padi dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan
mesin perontok dapat menyelamatkan hasil panen dari kehilangan sekitar 10% atau
lebih (Tabel 3).
Tabel
3. Kapasitas operasional keempat mesin perontok dan tingkat kehilangan hasil
pada beberapa sistem pemanenan padi
Sistem
pemanenan
|
Alat
perontok
|
Kapasitas
perontokan (kg/jam)
|
Gabah
tidak terontok (%)
|
Kehilangan
hasil dari panen sampai perontokan (%)
|
Kelompok A
|
TH6-Klari
|
780,5
b
|
0,45
b
|
4,7
b
|
Kelompok B
|
TH6-Aceh
|
969,0
b
|
0,31
b
|
4,4
b
|
Kelompok C
|
TH6-Quik
|
523,4
c
|
0,83
a
|
4,9
b
|
Kelompok D
|
TH6-Quik-M
|
1.125,3
a
|
0,97
a
|
4,3
b
|
Keroyokan-1
|
Gebot
|
-
|
-
|
15,2
a
|
Keroyokan-2
|
Gebot
|
-
|
-
|
16,3
a
|
KK
(%)
|
|
11,21
|
23,65
|
21,59
|
Keterangan:
Angka diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% BNT
Sumber
: Setyono dkk. (1998).
PENERAPAN PEMANENAN PADI DENGAN
SISTEM KELOMPOK
Perbaikan sistem pemanenan padi
dalam usaha menekan kehilangan hasil panen, dilakukan dengan cara pembatasan
jumlah pemanen dalam area panen dan perontokan padi menggunakan mesin perontok.
Pemanenan padi dengan sistim kelompok perlu terus disosialisasikan kepada
pemanen dan petani dan petani dan di uji cobakan.
Pengujian pemanenan padi dengan
sistem kelompok telah dilaksanakan di daerah Ciasem Subang pada bulan Agustus
sampai September 1999. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan
hasil panen pada sistem kelompok sebesar 4,89% jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan sistem keroyokan yang besarnya 16,17% (Tabel 4).
Tabel
4. Data hasil pengamatan ubinan, hasil panen dan kadar air saat panen pada dua
sistem pemanenan padi
Lokasi
|
||||
1
|
2
|
3
|
||
A. Sistem keroyokan (individual)
|
|
|
|
|
1.
Hasil ubinan (kg/ha)
|
7513,60
|
7388,80
|
6982,00
|
7294,80
|
2.
Hasil panen riil (kg/ha)
|
6155,61
|
6381,35
|
5808,13
|
6115,03
|
3.
Kehilangan hasil (%)
|
18,07
|
13,63
|
16,81
|
16,17
|
4.
Kadar air gabah (%)
|
21,86
|
21,31
|
21,27
|
21,48
|
B. Sistem kelompok
|
|
|
|
|
1.
Hasil ubinan (kg/ha)
|
6354,00
|
7529,00
|
6994,29
|
6959,10
|
2.
Hasil panen riil (kg/ha)
|
6017,93
|
7164,74
|
6677,74
|
6620,06
|
3.
Kehilangan hasil (%)
|
5,29
|
4,84
|
4,53
|
4,89
|
4.
Kadar air gabah (%)
|
21,20
|
21,19
|
23,10
|
21,83
|
Sumber
: Setyono dkk. (2000).
Besarnya kehilangan hasil pada
pemanenan padi sistem keroyokan karena pada saat pemotongan padi, pemanen
saling berebutan memotong padi, pengumpulan pemotongan padi tergesa-gesa dan
saat perontokan padi dengan cara dibanting, banyak gabah tidak terontok.
Pengamatan yang terpisah terhadap jumlah gabah yang tercecer saat pemotongan
padi secara keroyokan juga dilaksanakan di Daerah Kabupaten Bandung, Subang dan
Karawang. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gabah yang rontok saat
pemotongan padi cukup tinggi, rata-rata 6,07% (Tabel 5). Jumlah gabah yang
rontok tersebut dipengaruhi oleh varietas padi. Gabah yang rontok untuk
varietas Memberamo adalah yang paling tinggi, yaitu 6,54%, menyusul varietas
IR-64 (6,36%), varietas Way Apo Buru (6,28%) .dan yang terwndah Cilamaya Muncul
(5,11%) (Tabel 5).
Usaha petani untuk mengatasi
pemanenan padi sistem keroyokan dan masalah pengasak telah lama dilakukan
dengan sistem ceblokan. Pemanenan padi sistem coblokan dilakukan oleh pemanen
dalam jumlah terbatas, yang sebelumnya ikut tanam padi atau merawat tanaman
padi tanpa mendapatkan upah. Orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa
mendapatkan ijin dari penceblok. Panen padi dengan sistem ceblokan ini masih
juga menimbulkan kerugian bagi petani, karena keterlambatan panen, akibat
penceblok ikut panen keroyokan lebih dulu di tempat lain.
Berdasarkan masalah yang terjadi
seperti tersebut di atas, petani di daerah Cilamaya, Karawang sudah mulai sadar
untuk mengurangi kehilangan hasil tidak ada jalan lain lagi bahwa panen padi
harus dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan mesin perontok.
Namun demikian karena jumlah mesin perontok padi sangat jauh dari memadai
dibandingkan dengan luas areal panen, usaha perkembangan pemanenan padi dengan
sistem kelompok di Jalur Pantura Jawa Barat terasa sangat lambat. Berbeda
dengan daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan
kepemilikan lahan yang sempit dengan areal panen per blok yang tidak luas, maka
jumlah kebutuhan mesin perontok dan pedal thresher mencukupi dan berkembang
pesat. Selain itu mekanisme sistem pemanenan padi sudah tertata dengan cukup
baik, maka proses perontokan padi dapat dilakukan di halaman rumah atau di
dalam pendapa pada malam hari.
Tabel
5. Persentase gabah rontok/tercecer beberapa varietas padi saat pemotongan padi
pada pemanenan padi sistem keroyokan.
No.
Petani
|
Lokasi/Kabupaten
|
Varietas
|
Kadar
air gabah saat penen (%)*
|
Gabah
rontok (kehilangan) (%)*
|
1
|
Bandung
|
IR64
|
23,8
|
5,99
|
2
|
Subang
|
IR64
|
21,2
|
6,78
|
3
|
Subang
|
IR64
|
23,1
|
5,38
|
4
|
Karawang
|
IR64
|
22,0
|
6,48
|
5
|
Karawang
|
IR64
|
22,5
|
6,96
|
6
|
Karawang
|
IR64
|
22,5
|
6,74
|
7
|
Karawang
|
IR64
|
23,0
|
6,20
|
|
|
|
R
(22,6)
|
R
(6,36)
|
8
|
Bandung
|
Memberamo
|
21,4
|
5,00
|
9
|
Bandung
|
Memberamo
|
21,5
|
6,09
|
10
|
Subang
|
Memberamo
|
22,0
|
6,98
|
11
|
Subang
|
Memberamo
|
21,8
|
7,14
|
12
|
Karawang
|
Memberamo
|
22,5
|
6,90
|
13
|
Karawang
|
Memberamo
|
22,0
|
7,15
|
|
|
|
R
(21,84)
|
R
(6,54)
|
14
|
Bandung
|
Way Apo Buru
|
21,7
|
6,31
|
15
|
Subang
|
Way Apo Buru
|
22,4
|
6,38
|
16
|
Subang
|
Way Apo Buru
|
22,8
|
6,83
|
17
|
Karawang
|
Way Apo Buru
|
23,7
|
5,93
|
18
|
Karawang
|
Way Apo Buru
|
23,0
|
5,95
|
|
|
|
R
(22,9)
|
R
(6,28)
|
19
|
Karawang
|
Cilamaya Muncul
|
24,0
|
5,11
|
20
|
Karawang
|
Cilamaya Muncul
|
23,5
|
5,10
|
|
|
|
R
(23,8)
|
R
(5,11)
|
Keterangan
: * Rata-rata dari tiga ulangan pengamatan
R
( ) = Rata-rata
Sumber
: Setyono dkk. (2000).
Titik kritis terjadinya kehilangan
hasil pada pemanenan padi, terutama pada (1) pemotongan padi, (2) pengumpulan
potongan padi, dan (3) pada proses perontokan. Kehilangan hasil tersebut
umumnya disebabkan oleh perilaku para pemanen atau penderep baik karena tidak
disengaja maupun disengaja. Pemotongan padi yang berebutan menyebabkan banyak
gabah rontok dan tercecer termasuk kehilangan hasil yang tidak disengaja.
Tetapi dalam pengumpulan potongan padi, ada malai-malai padi yang ditinggalkan
untuk nantinya diambil kembali, ini merupakan kesengajaan dari pemanen.
Sedangkan dalam proses perontokan padi dengan cara gebot (dibanting), banyak
gabah yang terlempar keluar alas perontokan tanpa disengaja. Tetapi ada pula
pemanen dengan sengaja membantingkan padi hanya beberapa kali, kemudian jerami
dibuang, sehingga masih banyak gabah yang belum terontok. Kondisi ini mendorong
tumbuhnya para pengasak yang seringkali menimbulkan kerugian bagi petani
Penerapan pemanenan padi sistem
kelompok dengan menguji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok serta
pengamatan langsung terhadap ceceran gabah menunjukkan bahwa kehilangan hasil
pada pemanenan sistem kelompok relatif rendah, 3,75% (Tabel 6). Rinciannya
adalah sebagai berikut (a) gabah rontok saat pemotongan padi, 1,56%, (b) gabah
dari malai yang tercecer, 0,85% dan (c) gabah yang ikut pembuangan jerami dari
mesin perontok sebesar 1,34% (Tabel 6). Sebaliknya kehilangan hasil pada sistem
keroyokan sangat tinggi, yaitu 18,75%. Rincian besarya kehilangan hasil
tersebut adalah, (a) gabah rontok saat pemotongan padi 3,31%, (b) gabah dari
malai yang tercecer 1,86%. (c) gabah tercecer saat penggebotan (perontokan)
sebesar 4,97%, dan (d) gabah yang tidak terontok 8,59% (Tabe 6). Penggunaan
mesin perontok selain dapat meningkatkan efisiensi kerja, juga dapat mengurangi
kehilangan hasil, gabah yang tidak terontok sangat rendah, sehingga mencegah
timbulnya pengasak..
Tabel
6. Besarnya kehilangan hasil panen dan persentase gabah yang tercecer dari dua
sistem pemanenan padi
Sistem
Keroyokan
|
Sistem
Kelompok
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
Rerata
|
1
|
2
|
3
|
Rerata
|
|||
|
Kehilangan hasil riil (dihitung
secara langsung)
|
|||||||||
1.
|
Gabah rontok saat pemotongan (%)
|
3,72
|
3,07
|
3,15
|
3,31
|
1,33
|
1,33
|
2,02
|
1,56
|
|
2.
|
Gabah dari malai yang tercecer
setelah pengumpulan (%)
|
2,67
|
1,13
|
1,83
|
1,88
|
1,08
|
1,11
|
0,36
|
0,85
|
|
3.
|
Gabah tidak terontok setelah
digebot yang diasak (%)
|
8,97
|
7,50
|
9,30
|
8,59
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
4.
|
Gabah tercecer saat perontokan
cara gebot (dibating) (%)
|
4,46
|
5,62
|
4,84
|
4,97
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
5.
|
Gabah ikut pembuangan jerami dari
mesin perontok (%)
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1,25
|
0,89
|
1,88
|
1,34
|
|
6.
|
Kehilangan hasil riil (%)
|
19,82
|
17,32
|
19,12
|
18,75
|
3,66
|
3,33
|
4,26
|
3,75
|
|
Sumber
: Setyono dkk. (2001).
Pengamatan terhadap kehilangan hasil
panen yang dihitung secara tidak langsung juga dilakukan pada lahan yang sama.
Kehilangan hasil yang dihitung secara tidak langsung merupakan perkiraan.
Penghitungan kehilangan hasil secara tidak langsung adalah selisih antara berat
gabah bersih hasil panen ubinan dengan berat gabah bersih hasil panen riil,
dihitung pada kadar air yang sama dan dinyatakan dalam persen. Hasil
penghitungan tersebut menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen pada sistem
keroyokan sebesar 18,82% dan pada sistem kelompok sebesar 4,01% (Tabel 7). Angka
tersebut menunjukkan total kehilangan hasil dan tidak menunjukkan kehilangan
hasil pada tiap-tiap tahapan pada pemanenan padi. Jika dilihat besarnya
kehilangan hasil pada metode pendugaan (tidak langsung) (Tabel 7) ternyata
hasilnya tidak jauh berbeda dengan total kehilangan hasil dari seluruh tahapan
pemanenan (Tabel 6). Dengan demikian pendugaan kehilangan hasil secara tidak
langsung tersebut mendekati kebenaran.
Tabel
7. Hasil panen ubinan dan hasil panen riil serta perkiraan kehilangan hasil
pada dua sistem pemanenan padi.
Sistem
Keroyokan
|
Sistem
Kelompok
|
||||||||
1
|
2
|
3
|
Rerata
|
1
|
2
|
3
|
Rerata
|
||
1.
|
Berat gabah hasil panen ubinan
(kg/ha)
|
6.627
|
6.944
|
8.357
|
7.309
|
6.560
|
6.720
|
8.078
|
7.119
|
|
Kadar air gabah (%)
|
22,30
|
22,74
|
23,06
|
-
|
22,39
|
21,47
|
21,06
|
-
|
2.
|
Berat gabah hasil panen ubinan
(kg/ha)
|
5.307
|
5.745
|
6.746
|
5.933
|
6.305
|
6.462
|
7.730
|
6.833
|
|
Kadar air gabah (%)
|
22,30
|
22,74
|
23,06
|
-
|
22,39
|
21,47
|
21,06
|
-
|
3.
|
Perkiraan kehilangan hasil (%)
|
19,94
|
17,27
|
19,28
|
18,82
|
3,88
|
3,84
|
4,30
|
4,01
|
Sumber
: Setyono dkk. (2001).
Serangkaian penelitian dan pengujian
yang telah dilaksanakan secara berkesinambungan membuktikan bahwa pemanenan
padi dengan sistem kelompok dan perontokannya menggunakan mesin perontok dapat
menyelamatkan hasil panen dari kehilangan lebih dari 10%. Pemanenan padi dengan
sitem kelompok telah berkembang di berbagai daerah Jawa Tengan antara lain
Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Sragen, Semarang, Pekalongan, Batang, Pemalang,
dan Brebes. Pengembanagan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok di Jawa Timur
meliputi derah Lamongan, Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Probolinggo, dan
Banyuwangi. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta kelompok pemanen telah berkembang
di daerah Kulon Progo, Gunung Kidul dan sedikit di daerah Bantul,. Khususnya di
Propinsi Jawa Barat pemanenan padi dengan sistem baru mulai berkembang di
Kecamatan Cilamaya dan Telagasari di Kabupaten Karawang dan Kecamatan Majalaya
Kabupaten Bandung.
Pengembangan pemanenan padi dengan
sistem kelompok akan menyangkut masalah manusia sebagai pemanen, adat kebiasaan
yang mereka lakuakan bertahun-tahun dan dari segi sosial. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui pendekatan kepada pemuka
masyarakat, petani andalan dan para pemanen. Salah satu cara yang paling baik
untuk mengembangkan pemanenan padi sistem kelompok adalah melalui demonstrasi,
penyuluhan dan kerjasama dangan instansi terkait, termasuk Dinas Pertanian,
Penyuluh Pertanian, Balai Penelitian dan Balai Pengkajian, pemuka masyarakat,
petani dan pemanen serta Pamong Desa.
MASALAH
PENGASAK
Pengasak merupakan salah satu
istilah dalam pemanenan padi yang berarti orang diluar tenaga pemanen yang
pekerjaannnya mengumpulkan gabah, malai tercecer, padi tidak terpotong atau
gabah tidak terontok untuk dirinya sendiri setelah pemanenan dan perontokan
selesai. Pada awalnya pekerjaan pengasak ini dilakukan oleh orang-orang tua
yang sudah tidak mampu lagi ikut menjadi tenaga pemanen. Oleh karena pendapatan
sebagai pengasak cukup memadai, maka banyak tenaga pemanen wanita di jalur
Pantura Jawa Barat beralih profesi menjadi pengasak. Tenaga pengasak ini
umumnya masih ada ikatan keluarga dengan tenaga pemanen.
Perkembangan pengasak ini akhirnya
cenderung kearah hal-hal negatif bagi tenaga pemanen dan sering mengakibatkan
kecurangan. Salah satu kecurangan tersebut adalah pemanen merontok padi
(membanting) kurang bersih. Selain itu, apabila masih ada ikatan keluarga,
pengasak diberi kesempatan untuk mengambil padi yang belum dirontok atau gabah
yang sudah terontok. Para pengasak juga tidak segan-segan memberi imbalan kepada
pemanen berupa rokok atau bentuk uang, sehingga pengasak dapat leluasa untuk
mengambil gabah atau pemanen membanting padi hanya beberapa kali dan kurang
bersih.
Hasil pemantauan petani di Kecamatan
Cilamaya, Karawang, menceritakan bahwa hampir semua pemanen yang datang dari
Indramayu pada tiga tahun terakhir atau mulai tahun 1998 berubah profesi
menjadi pengasak. Sejumlah pengasak yang mengelilingi pemanen saat perontokan
padi (penggebotan), sering menimbulkan rasa risih bagi pemaenen. Hal ini
disebabkan ada kata-kata dari pengasak yang ditujukan kepada pemanen antara
lain (1) tidak berperikemanusiaan karena membanting padi secara bersih, (2)
pengasak dapat bagian apa, (3) tidak ada rasa sosial dan masih banyak lagi.
Perubahan
Karakter Pengasak
Pekerjaan sebagai pengasak lebih
ringan dibandingkan pekerjaan sebagai pemanen, tetapi dapat memeperoleh hasil
secara langsung dan lebih cepat. Pemanen memotong padi mengumpulkan potongan
padi dan diinapkan lebih dulu satu malam dan baru digebot esok harinya. Jadi pemanen
memperoleh bawon setelah dua hari bekerja.
Jumlah pengasak terus bertambah
karena pekerjaan sebagai pengasak lebih ringan, juga memberi harapan
mendapatkan hasil yang lebih baik. Telah disinggung dimuka, bahwa pemanen
perempuan dari daerah Indaramayu ke Karawang (Subang) sudah banyak yang berubah
bukan sebagai pemanen, tetapi sebagai pengasak. Berkembangnya jumlah pengasak
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) kondisi di lapangan sangat
mendukung, yaitu perontokan padi dengan cara dibanting menyebabkan masih banyak
gabah tidak terontok, (2) mereka bekerja sebagai pengasak langsung mendapatkan
hasil berupa gabah, (3) kurangnya pengawasan atau sulitnya petani melakukan
pengawasan karena jumlah pemanen yang sangat banyak, (4) adanya tengkulak yang
menampung gabah hasil pengasak.
Makin bertambahnya jumlah pengasak
mempersempit ruang gerak mereka dan secara tidak langsung terjadi persaingan
antar pengasak. Pekerjaan sebagai pengasak ini sebenarnya tidak disukai oleh
petani, karena pengasak dengan berbagai akal berusaha untuk mendapatkan
penghasilan. Akibatnya para pengasak ini melakukan hal-hal yang menjurus kepada
kecurangan-kecurangan seperti yang dijelaskan di atas. Perubahan peilaku atau
karakter pengasak tersebut menyebabkan kerugian besar bagi petani.
Penggunaan
Mesin Pemanen Padi
Untuk mengatasi sifat subyektivitas
pemanen, meningkatkan efisiensi kerja dan guna mengantisipasi terjadinya
kesulitan tenaga kerja, maka telah dilakukan penelitian penggunaan mesin
perontok. Dengan semakin berkembangnya kegiatan di luar sektor pertanian,
terlihat semakin berkurangnya tenaga kerja pertanian di pedesaan, khususnya
tenaga muda yang sudah dan pernah mengenyam pendidikan (Ananto et al., 1992).
Dengan semakin terbatas tenaga kerja panen tersebut, perlu meningkatkan
efisiensi dalam kegiatan panen, misalnya dengan introduksi alat/mesin panen stripper,
reaper dan combine harvester.
Dari unjuk kerja alat terlihat bahwa
kapasitas kerja stripper jauh lebih tinggi dibanding panen secara
tradisional (manual), sedangkan dan combine harvester Kubota menunjukkan
kapasitas kerja tertinggi. Namun demikian penggunaan combine harvester
ini membutuhkan banyak persyaratan, antara lain lahan harus cukup kering atau
cukup keras agar dapat menahan beban alat, disamping itu tanaman padi yang akan
dipanen tidak boleh basah agar tidak terjadi kemacetan di dalam sistem
perontokan (Tabel 8). Sedang dari angka kehilangan hasil baik secara kuantitas
maupun kualitas terlihat bahwa kehilangan hasil secara kuantitas oleh stripper
paling rendah dibanding panen manual dan menggunakan reaper (Tabel 9).
Walaupun penampilan dan hasil uji
fungsional mesin pemanen cukup baik dengan tingkat kehilangan hasil rendah,
namun keberadaan mesin-mesin pemanen tersebut belum diterima oleh para tenaga
pemanen. Para tenaga pemanen sangat menentang keberadaan mesin pemanen karena
mereka khawatir akan terdesak oleh penggunaan mesin perontok.
Tabel 8. Kapasitas kerja dan
kebutuhan bahan bakar dari berbagai cara dan alat panen
Cara/alat panen
|
Kebutuhan
jam total (jam/ha)
|
Bahan
bakar
(lt/jam)
|
Manual (sabit-gebot)
|
252
|
-
|
Stripper buatan IRRI
dan thresher TH6 mod.
|
19
|
2,1
0,9
|
Stripper buatan Surabaya
dan thresher TH6 mod.
|
17
|
1,9
0,9
|
Reaper dan
thresher TH6 mod.
|
17
|
1,5
1,5
|
Combine hanvester Kubota
|
5,05
|
1,3
|
Combine haevester Nongyou, tipe
jalan
|
20,17
|
1,4
|
Sumber : Purwadaria et al. (1994).
Tabel
9. Kehilangan hasil panen secara kuantitas dan kualitas dari berbagai cara dan
alat panen
Kehilangan
kualitas
|
||||
Kotoran
|
Butir
rusak
|
Butir
patah
|
||
Manual (sabit-gebot)
|
9,4
|
0,5
|
0,7
|
5,4
|
Stripper IRRI dan thresher
TH6-Mod.
|
2,4
|
0,7
|
0,2
|
1,2
|
Stripper Lokal dan thresher
TH6-Mod.
|
2,5
|
0,8
|
0,8
|
2,2
|
Reaper dan thresher TH6 mod.
|
6,1
|
1,3
|
1,2
|
2,0
|
Sumber : Purwadaria et al. (1994).
KEUNTUNGAN
PEMANENAN PADI DENGAN SISTEM KELOMPOK
Pengembangan pemanenan padi dengan
sistem kelompok merupakan salah satu alternatif dalam usaha menekan besarnya
kehilangan hasil padi pada pemanenan dan perontokan. Pemanenan padi dengan
sistem kelompok memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
Jumlah
pemanen yang terbatas akan mudah dilakukan pengawasan dan koordinasi terhadap
para pemanen dan juga mempermudah memasukkan teknologi pasca panen kepada
pemanen.
Pemanenan
padi dengan sistem kelompok akan mendidik para tenaga pemanen bekerja secara
profesional, sehingga mudah dilakukan pengarahan.
Kinerja
para pemanen dalam bentuk beregu, menghindari para pemanen berebutan dalam
memotong padi, mencegah kecurangan pemanen dan mengurangi kehilangan hasil.
Dari
hasil penelitian di atas, bila pemanenan padi dengan sistem kelompok diterapkan
secara menyeluruh, maka secara optimis sebesar 10% dari total produksi padi
dapat diselamatkan dari kehilangan.
Apabila
total produksi padi di Indonesia sebesar 49.236.700 ton pada tahun 1998 (BPS,
2000), maka perbaikan sistem pemanenan padi secara nasional dapat meningkatkan
produksi padi sebesar 4,9 juta ton.
Jika
di tingkat petani total produksi gabah 6.000 kg/ha, maka perbaikan sistem
pemanenan padi akan meningkatkan pendapatan petani sekitar 10% atau sebesar 6/7
x 600 kg gabah atau 515 kg gabah, sedangkan pendapatan pemanen meningkat 1/7 x
600 kg gabah atau sekitar 85 kg gabah.
Penggunaan
mesin perontok dalam perontokan padi, selain dapat meningkatkan efisiensi
kerja, juga menghasilkan gabah yang lebih bersih dan bermutu baik. Harga gabah
yang dihasilkan lebih tinggi dari harga gabah yang dihasilkan dari cara
gebot/dibanting. Harga gabah tersebut sekitar Rp 20,- sampai Rp 30,- per
kilogram gabah lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil gebotan.
Penggunaan
mesin perontok menyebabkan gabah yang tercecer minim dan gabah yang tidak
terontok sangat rendah, kurang dari satu persen.
Pengembangan
usaha pelayanan jasa alsintan yaitu pengelola mesin perontok dan mesin pengolah
tanah, diharapkan akan mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel mesin pertanian di
pedesaan.
Pengembangan
usaha pelayanan jasa alsintan dapat meningkatkan efisiensi kerja baik dalam
pengolahan maupun penanganan pascapanen, sehingga dapat mempercepat pengolahan
lahan untuk musim berikutnya. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan
produktivitas lahan atau menaikkan Indeks Pertanaman.
Perawatan Gabah Basah
Masalah lain yang tidak kalah
pentingnya yang dihadapi petani adalah penanganan gabah basah hasil panen
dimusim hujan. Terbatasnya lantai jemur dan tidak munculnya sinar matahari
karena hujan dan sulinya mendapatkan mesin pengering serta mahalnya biaya
pengeringan mengakibatkan banyaknya petani mengalami kesulitan dalam
menyelamatkan gabah hasil panennya. Akibatnya gabah yang dihasilkan menjadi
rusak dan berkecambah. Oleh karena itu perlu dirakit teknologi perawatan gabah
basah yang sederhana dengan dengan biaya murah dan mudah diterapkan ditingkat
petani.
Pada prinsipnya tujuan dari
perawatan gabah adalah mengawasi kecepatan transpirasi, oksidasi dan infeksi
hama dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengurangi kadar air gabah sampai kadar air simpan atau menghambat kenaikan
suhu dalam tumpukan gabah dengan menggunakan zat higroskopis.
Perawatan gabah dengan alat silo
pengering
1. Alat pengering
Silo pengering sirkuler dengan
kerangka dari besi siku dan besi plat strip. Dinding luar SPS, dasar dan tutup
silo dibuat dari seng plat dengan tebal 2 mm. Silo mempunyai diameter 2000 cm,
yang ruangannya dibagi menjadi tiga ruangan untuk tempat gabah berbentuk
silindris. Masing-masing ruangan gabah dipisahkan oleh ruangan untuk jalan
aliran udara panas, berjarak 10 cm.
Jarak dan dasar tanah sampai dasar
silo 70 cm dan tinggi silinder 150 cm. Tutup berbentuk kerucut dengan tinggi 50
cm dan cerobong berbentuk silinder diameter 27 cm tinggi 40 cm. Pada cerobong
tersebut dipasang blower untuk menyedot udara lembab dan dalam silo (Gambar 1).
Seluruh dinding ruangan gabah dibuat dan kawat kasa aliran udara panas dapat
menembus timbunan gabah. Kapasitas SPS 1000 kg.
Sumber panas menggunakan kompor
tekan smawar dengan diameter dan titik api 12 – 13 cm. Kapasitas tangki minyak
20 liter.
2. Cara kerja
Pengisian ruang gabah melalui atas
sampai penuh, kemudian ditutup dan kompor smawar dinyalakan. Selama
pengeringan, suhu ruang di bagian bawah berkisar antara 400C – 410C,
sedangkan suhu dibagian atas antara 420C – 430C. Agar
kecepatan pengeringan gabah merata, maka setiap tiga jam sekali dilakukan
pembalikan dengan cara menurunkan separo dan total gabah kemudian dimasukkan
lagi ke bagian atas. Dengan perlakuan penyedotan udara lembab dan dalam silo
setiap setengah jam selama 10 menit, kadr air gabah dapat diturunkan dan 25,6%
menjadi 16,5% dalam waktu 6 jam. Untuk mencapai kadar air 15% diperlukan waktu
9 jam (Setyono dkk., 1996).
Kebutuhan minyak tanah untuk
pemanasan sebanyak 2 liter perjam. Kebutuhan minyak tanah seluruhnya 12 liter
(Rp. 3.600,-) dengan memperkerjakan tenaga kerja 2 orang dengan upah
masing-masing Rp. 4.000,- maka jumlah biaya yang dikeluarkan adalah Rp.
11.600,-per 1000 kg gabah lebih murah dibandingkan dengan flat bed dryer.
Beras yang dihasilkan dengan cara
ini cukup baik, yaitu rendemen beras giling 66,3% - 67,2%, kadar beras kepala
93,4% - 95,0%, beras pecah 2,5% - 3,3%, butir rusak 1,0% - 1,3% dan tidak
terjadi butir kuning (Setyono dkk., 1996).
Pengeringan gabah dengan pengering
ABC
Pengering gabah ABC dirancang untuk
pengeringan gabah dengan kapasitas menengah (5 ton gabah) dengan biaya murah
dengan harapan dapat bersaing dengan biaya penjemuran. Prisip kerja pengering
ABC sama dengan flad bed dryer, yaitu udara panas dilewatkan melalui tumpukan
gabah, sehingga gabah menjadi kering. Perbedaannya bahwa pengering ABC
menggunakan bahan bakar sekam dan pemanasan udaranya tidak langsung dengan blower
untuk melewati gabah.
Gabah sebanyak 5 ton pada kadar
22,5% dimasukkan dalam bak pengering dan diratakan. Ketebalan gabah sekitar 50
cm. Selanjutnya tungku sekam dinyalakan dan blower dihidupkan. Dan kadar air
22,5% menjadi 17,92 diperlukan waktu pengeringan 2 jam, dan untuk mencapai
kadar air 14,48% diperlukan waktu 4 jam. Kondisi pengeringan adalah suhu plenum
42,70C, suhu gabah 34,770C dan kecepatan aliran udara 7,5
– 90 rn/mm dan kebutuhan sekam sekitar 200 kg (Sutrisno, 1996). Gabah yang
dihasilkan bermutu baik.
STRATEGI
MENEKAN KEHILANGAN HASIL
Perbaikan
sistem pemanenan
Upaya peningkatan produktivitas padi
diberbagai sentral produksi padi belum diikuti dengan penanganan pascapanen
yang memadahi, sehingga berakibat pada tingginya kehilangan hasil baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Kehilangan hasil secara kualitatif lebih banyak
terjadi pada panen dan perontokan akibat perilaku para pemanen karena jumlah
pemanen yang cukup banyak.
Perbaikan sistem pemanenan padi
harus mencakup aspek teknis, aspek sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan tani
setempat. Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua pihak yang terlibat,
baik petani pemilik, buruh panen dan pengusaha jasa panen dan jasa perontok.
Dengan demikian diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
komponen-komponen sistem, agar dapat menemukan sifat-sifat penting di dalam
sistem, sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan keluaran sistem yang
dikehendaki.
Sebagai bagian dari pembangunan
pertanian, penanganan pascapanen padi diarahkan untuk mengatasi masalah dalam
pengembangan sistem usahatani padi, antara lain kehilangan hasil tinggi, mutu
beras rendah dan beragam, kurang dan kelebihannya tenaga kerja panen,
pengolahan hasil dan efesiensi usahatani. Oleh karena itu strategi penanganan
pascpanen padi harus ditempatkan sebagai bagian integral dengan program
pengembangan sistem usahatani padi. Dengan demikian pengembangannya harus
dimulai dari kegiatan intensifikasi sistem pascapanen padi, perbaikan aspek
sosial-ekonomi dan kelembagaan.
Perumusan
masalah dan tujuan penanganan pascapanen
Perumusan masalah penanganan
pascapanen padi dimulai dengan analisis kebutuhan dari setiap komponen di dalam
sistem, sekaligus mengungkapkan masalah-masalah yeng mungkin timbul akibat
pertentangan kepentingan dari setiap komponen yang ada di dalam sistem
penanganan pascapanen. Secara umum tujuan perbaikan penanganan pascapanen padi
adalah :
a.
Menekan kehilangan hasil, mulai dari tahap pemanenan sampai dengan
penggilingan.
b.
Meningkatkan rendemen dan mutu beras giling
c.
Menekan biaya penanganan pascapanen dari pemanenan sampai dengan penggilingan.
d.
Meningkatkan pendapatan petani pemilik dan buruh panan/penderep.
e.
Meningkatkan kelayakan ekonomi dan finansial jasa alsintan pascapanen mulai
panen sampai dengan penggilingan.
f.
Merekayasa sistem kelembagaan jasa pemanen dan pascapanen yang efektif dan
efisien.
Adapun masalah yang mungkin timbul
dalam rangka mencapai tujuan perbaikan pascapanen antara lain :
Berkurangnya
kesempatan kerja buruh panen (terjadi pengangguran).
Keterlambatan
waktu pemanenan.
Hasil
kerja alsintan yang rendah
Biaya
operasi alsintan pascapanen yang tinggi dan kurang layak secara ekonomi.
Intensifikasi
sistem penanganan pascapanen
Pascapanen padi terdiri dari tahapan
kegiatan yang dimulai dari tahapan pengeringan dan penggilingan. Di dalam
mencapai tujuan sistem, setiap tahap kegiatan dipengaruhi oleh berbagai faktor
atau input, baik dari segi biofisik, sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan,
yang dalam beberapa hal merupakan faktor lingkungan yang tidak dapat
dipengaruhi oleh sistem tetapi sangat mempengaruhi sistem. Faktor-faktor
tersebut antara lain iklim/curah hujan, pola tanam, topografi dan
sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan serta kebijakan.
Program
perbaikan sistem penanganan pascapanen
Program perbaikan penanganan
pascapanen dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan wilayah
dan (2) pendekatan teknologi. Pendekatan wilayah didasarkan atas pertimbangan
persepsi petani sebagai dominan, faktor sosial-budaya dan ekonomi serta
kelembagaan. Pendekatan wilayah lebih bersifat "bottom up aproach"
dengan memperhatikan tingkat inovasi teknologi faktor sosial budaya, ekonomi
dan kelembagaan panen ditingkat petani termasuk buruh tani. Pendekatan
teknologi merupakan "top down aproach" yang lebih didasakan pada
kriteria teknis seperti meningkatkan kapasitas dan efesiensi kerja serta
perbaikan teknologi alat dan proses untuk meningkatkan rendemen dan mutu beras
serta menekan kehilangan hasil.
LANGKAH-LANGKAH
PENGEMBANGAN
Satu hal yang perlu diperhatikan
dalam perbaikan penanganan pascapanen adalah bahwa secara ekonomi perbaikan
tersebut dapat memberikan keuntungan/manfaat bagi pihak-pihak yang terkait,
antara lain petani pemilik, buruh tani dan pihak pengusaha jasa pelayanan
alsintan dan kelompok jasa pemanen. Hal ini menuntut perencanaan yang
didasarkan informasi wilayah dan dukungan kelembagaan. Langkah-langkah yang
ditempuh dalam perbaikan penanganan pascapanen untuk menekan kehilangan hasil
adalah sebagai berikut:
Introduksi
sistem penanganan pascapanen
Upaya perbaikan penanganan
pascapanen sebaiknya dilakukan secara berkelompok yang bersifat komersial dan
mandiri, baik oleh kelompok tani maupun koperasi tani dengan membentuk
kelembagaan jasa pengeringan, jasa penggilingan, atau integrasi dari beberapa
usaha jasa tersebut dalam bentuk kelembagaan pengembangan agroindustri.
Analisis
kebutuhan alsintan
Intensifikasi wilayah pengembangan
untuk mengetahui kebutuhan alsintan didasarkan pada pola tanam atau jadwal
pengiliran tanaman, beras areal panen inventarisai alsintan, tenaga kerja dan
jenis kegiatan yang membutuhkan bantuan alsintan. Analisis kebutuhan alsintan
perlu dilakukan untuk mencegah persaingan yang tidak sehat antar pengusaha jasa
pascapanen.
Pengadaan
alsintan dan pola pembayaran
Oleh karena masih lamanya modal
petani, maka untuk sementara, pengadaan alsintan dapat dilaksanakan dengan
menggunakan berbagai SKIM kredit yang disediakan oleh pemerintah. Jenis SKIM
kredit tersebut harus mampu diakses dan dimanfaatkan oleh petani/kelompok tani
dan koperasi untuk modal pengadaan alsintan pascapanen. Bagi lokasi/wilayah
yang belum atau sulit terjangkau fasilitas kredit, dapat dikembangkan pola
pembiayaan yang bersifat swadana dari masyarakat sendiri yang lebih didasarkan
pada ikatan tradisi.
Manajemen
lapangan
Penyusunan rencana operasi jasa
pemanen dilakukan berdasarkan pesanan pekerjaan dari petani. Pesanan pekerjaan
tersebut sebaiknya diintegrasikan dalam penyusunan RDKK, sehingga dengan cara
ini akan memberikan kepastian pekerjaan bagi kelompok jasa pemanen dan kelompok
jasa perontok yang ada di lahan tersebut.
Pengembangan
bengkel alsintan
Untuk perbaikan alsintan dapat
dikerjakan di lokasi dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan jika
perbaikan dilakukan di luar lokasi. Oleh karena itu pembinaan bengkel lokal
dapat dimulai dengan memberdayakan bengkel lokal.
Peningkatan kemampuan bengkel
biasanya mitra bengkel mendapatkan pelatihan dan bantuan kredit atau kredit
peralatan bengkel dari dealer alsintan.
Pelatihan
dan pembianaan SDM
Untuk menunjang perbaikan penanganan
pascapanen, terutama yang berkaitan dengan pengoperasian alsintandan manajemen
keuangan, perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan kepada kelompok jasa pemanen,
jasa perontok, jasa pengeringan, industri, baik yang diusahakan secara
individual maupun secara berkelompok.
Pembianaan
kelembagaan
Untuk mendapatkan perbaikan
penanganan pascapanen termasuk kelompok usaha pelayanan jasa pascapanen,
diperlukan dukungan kelembagaan, baik dalam bentuk kelembagaan untuk penyebaran
informasi teknologi, penyuluhan dan informasi pasar maupun kebijakan yang dapat
memberikan kepastian usaha, seperti penetapan S.K. Bupati tentang kelompok
pemanenan UPJA dan sebagainya.
PENUTUP
Pemanenan dan perontokan merupakan
salah satu masalah utama yang dihadapi petani padi, karena kedua tahapan
pascapanen padi tersebut terjadi kehilangan hasil sangat tinggi. Banyaknya
gabah yang tercecer dan gabah tidak terontok akibat perilaku pemanen
menyebabkan kehilangan hasil pada kedua tahapan tersebut mencapai lebih dari
15%. Perbaikan pemanenan padi dengan sistem kelompok dapat menekan kehilangan
hasil sampai 3,76%, sehingga dapat menyelamatkan hasil dari kehilangan sekitar
10%. Pemanenan padi dengan sistem kelompok merupakan salah satu sumber baru
produksi padi, karena dapat menyelamatkan gabah hasil panen dari kehilangan.
Pengembangan pemanenan padi dengan
sistem kelompok selain dapat mengurangi besarnya kehilangan hasil dan dapat
meningkatkan pendapatan petani dan pemanen, juga dapat menunjang peningkatan
stok pangan nasional. Kelompok jasa pemanen yang bekerja secara profesional
dapat menghindari perbuatan tidak terpuji atau kecurangan dari anggotanya pada
khususnya dan para pemanen pada umumnya, serta mencegah tumbuhnya para
pengasak.
Usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA)
dalam mengembangkan kelompok jasa perontok, diharapkan akan mendorong tumbuhnya
bengkel-bengkel alsintan yang membuka lapangan kerja baru di pedesaan. Oleh
karena itu penulis menyarankan agar pemanenan padi dengan sistem kelompok terus
dikembangkan baik di daerah yang sudah maupun yang belum melaksanakannya.
Kerjasama yang baik antara instansi terkait, kelompok tani, pemuka masyarakat,
pemuka agama dan tenaga pemanen perlu terus dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananto,
E.E., M. Djojomartono, K. Abdullah dan Eriyanto, 1992. Perkembangan tenaga
pertanian untuk usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang. Suatu pendekatan
simulasi sistem. Media Penelitian Sukamandi. No. 11. P4-23.
Anonim,
1986. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1986. Tentang
Peningkatan Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian. Jakarta.
Anonim,
1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992. Tentang Sistem
Budidaya Tanaman. Departemen Pertanian, Jakarta, Mei 1992.
Ato
Suprapto, 1996. Penyusutan Lahan Pertanian Serta Dampaknya terhadap Penyediaan
Pangan. Seminar Sehari Penggunaan Data Sensus Pertanian 1993. Biro Pusat
Statistik. Jakarta 12 September 1996.
Biro
Pusat Statistik, 1996. Survei susut pascapanen MT. 1994/1995 Kerjasama BPS,
Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog, Bappenas, IPB, dan Badan
Litbang Pertanian.
Damardjati,
D.S. 1979. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap
sifat dan mutu beras. Thesis M.S. Institut Pertanian Bogor (Tidak
dipublikasikan).
Damardjati,
D.S., H. Suseno, dan S. Wijandi. 1981. Penentuan umur panen optimum padi sawah
(Oryza sativa L.). Penelitian Pertanian 1 : 19-26.
Damardjati,
D.S., Suismono, Sutrisno dan U. S. Nugraha. 1988. Study on harvesting losses in
difference harvest tools. Sukamandi Research Institute for Food Crops.
Hasanuddin,
A., 1996. Strategi dan Langkah Operasional Program Penelitian Tanaman Padi.
Prosiding: Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi, 23-25 Agustus 1995. Buku I. Hal. 26-45.
Mujisihono,
Rob., Sutrisno, dan Agus Setyono, 1998. Evaluasi pemanenan padi Tabela
menunjang SUTPA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Ilmiah dan
Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan
Orientasi Agribisnis. BPTP Ungaran. Hal. 42-55
Nugraha,
S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990a. Pengaruh keterlambatan perontokan
padi terhadap kehilangan dan mutu. Kompilasi hasil penelitian 1988/1989.
Pascapanen. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Nugraha,
S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990b. Penerapan teknologi pemanenan dengan
sabit. Kompilasi hasil penelitian 1988/1989. Pascapanen Balai Penelitian
Tanaman Pangan Sukamandi.
Nugraha,
S., A. Setyono dan R. Thahir. 1994. Studi optimasi sistem pemanenan padi untuk
menekan kehilangan hasil. In Press.
Purwadaria,
H.K., E. Eko Ananto, Koes Sulistiadji, Sutrisno dan Ridwan Thahir. 1994.
Development of stripping and threshing type harvester. Postharvest Technologies
for Rice in The Humid Tropics-Indonesia. Technical Report Sub mitted to
GTZ-IRRI Project. IRRI, Philippines. 38p.
Rachmat,
R., Setyono dan R. Thahir. 1993. Evaluasi sistem pemanenan beregu menggunakan
beberapa mesin perontok. Agrimex. Vol 4 dan 5, No. 1 (1992/1993). Hal 1-7.
Rumiati
dan Soemardi, 1982. Evaluasi hasil penelitian peningkatan mutu padi dan
palawija. Risalah Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Cibogo, 5-6 April 1982. Bogor.
Rumiati,
1982. Cara panen dan perontokan padi VUTW untuk menentukan jumlah kehilangan.
Laporan Kemajuan Penelitian Seri Teknologi Lepas Panen No. 13 Sub Balittan
Karawang.
Setyono
A., dan A. Hasanuddin. 1997. Teknologi pascapanen padi. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di BPLPP
Cibitung, tanggal 21 s/d 25 Juli 1995.
Setyono,
A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem pemanenan padi
untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian
Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Setyono,
A., Sutrisno dan Sigit Nugraha. 1998. Uji coba regu pemanen dan mesin perontok
padi dalam pemanenan padi sistem beregu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya
Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi
Agribisnis. BPTP Ungaran. Hal 56-69.
Setyono,
A., Sutrisno dan Sigit Nugraha. 2000. Pengujian pemanenan padi sistem kelompok
dengan memanfaatkan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Disampaikan pada
Apresiasi Seminar Hasil Penelitian Balitpa, Sukamandi 10-11 Nopember 2000.
Setyono,
A., Sutrisno, Sigit Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa pemanen
dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi
Sukamandi.
Suparyono
dan A. Setyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Setakan III. Jakarta 118 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar