Selasa, 28 Februari 2012

Manajemen Mutu : SNI untuk Perlindungan Konsumen


Awal 2010, publik dikejutkan dengan temuan kandungan logam berat berbahaya dalam perhiasan mainan asal Cina. Temuan itu sangat berdampak, hingga Pemerintah Amerika Serikat (AS) menarik perhiasan mainan tersebut dari negerinya. Bagaimana di Indonesia? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, belum ada regulasi standar kemananan produk wajib yang mengatur hal ini. Data Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan, baru ada empat Standar Nasional Indonesia (SNI) di sektor mainan anak, yang pemberlakuannya pun masih sukarela.
Ketua YLKI, Husna Zahir, mengatakan, sejak dua tahun lalu.YLKI meminta pemerintah menerapkan standar wajib semacam ini. Menurutnya, pengawasan sudah sewajarnya menjadi prioritas pemerintah agar rakyat terlindungi. Apalagi, kandungan logam berat tidak kasat mata dan dibutuhkan pengujian laboratorium agar kadarnya kentara. Selainitu, kata Husna, keracunan logam berat dampaknya baru terlihat dalamjangka waktu lama. "Jangan sampai sepuluh tahun lagi kita memiliki anak yangberusia 15 tahun yang menderita penyakit aneh akibat terpapar logam berat dari mainan ketika masih kecil," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus bisa menarik produk yang diduga berbahaya dari pasaran untuk mencegah dampak yang membahayakan. Di dunia internasional, sudah ada berbagai peraturan yang bisa diadopsi untuk regulasi dalam negeri. Sebenarnya, kata Husna, di Indonesia telah ada aturan mengenai kandungan bahan berbahaya ataupun logam berat dalam produk. "Namun, karena mainan anak-anak belum masuk SNI wajib, produk-produk yang diduga berbahaya itu tidak bisa ditarik dari peredaran," ujarnya.
Menghadapi ASEAN China Free Trade Area (ACFTA), Husna mengatakan Cina terkenal sebagai negara dengan pengawasan dalam negeri yang rendah. Karena itu. ia mengimbau konsumen perlu berhati-hati dengan produk yang masuk dari negara tersebut.
Perlindungan kepentingan konsumen, menurut Kepala BSN, Bambang Setiadi, merupakan esensi penerapan SNI. Penerapan SNI tidak bertujuan menghalangiperdagangan. Karena menurutnya, bagaimana pun juga, dalam mekanisme perdagangan bebas terdapat kebebasan aliran barang. Pemerintah sebagai regulator, menurutnya, harus melindungi kepentingan rakyatnya.
Menyikapi ACFTA, BSN telah menyusun 10 sektor prioritas yang diperkirakan akan terhadang pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas ini. Kepala Pusat Perumusan Standar BSN, Tengku Hanafiah, menerangkan, pihaknya mendapat penambahan anggaran dua kali lipat dari yang diberikan sekarang dalam APBNP. Selain untuk perbaikan infrastruktur di balai pengujian, anggaran tersebut menurutnya juga untuk memberikan insentif bagi Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK).
Dengan penerapan SNI, Tengku mengklaim tak hanya konsumen yang memperoleh manfaatnya. Produsen pun ikut memetik manfaat berupa kenaikan penjualan seperti yang dialami produsen air minum dalam kemasan dan produsen minyak goreng. Tapi penerapan SNI juga tidak bisa diskriminatif karena melanggar peraturan WTO." tandasnya. Bci5. ed andma
Data Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan, baru ada empat Standar Nasional Indonesia (SNI) di sektor mainan anak, yang pemberlakuannya pun masih sukarela. Menurutnya, pemerintah harus bisa menarik produk yang diduga berbahaya dari pasaran untuk mencegah dampak yang membahayakan. "Namun, karena mainan anak-anak belum masuk SNI wajib, produk-produk yang diduga berbahaya itu tidak bisa ditarik dari peredaran," ujarnya. Kepala Pusat Perumusan Standar BSN, Tengku Hanafiah, menerangkan, pihaknya mendapat penambahan anggaran dua kali lipat dari yang diberikan sekarang dalam APBNP. Produsen pun ikut memetik manfaat berupa kenaikan penjualan seperti yang dialami produsen air minum dalam kemasan dan produsen minyak goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar