Awal
2010, publik dikejutkan dengan temuan kandungan logam berat berbahaya dalam
perhiasan mainan asal Cina. Temuan itu sangat berdampak, hingga Pemerintah
Amerika Serikat (AS) menarik perhiasan mainan tersebut dari negerinya.
Bagaimana di Indonesia? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat,
belum ada regulasi standar kemananan produk wajib yang mengatur hal ini. Data
Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan, baru ada empat Standar Nasional
Indonesia (SNI) di sektor mainan anak, yang pemberlakuannya pun masih sukarela.
Ketua
YLKI, Husna Zahir, mengatakan, sejak dua tahun lalu.YLKI meminta pemerintah
menerapkan standar wajib semacam ini. Menurutnya, pengawasan sudah sewajarnya
menjadi prioritas pemerintah agar rakyat terlindungi. Apalagi, kandungan logam
berat tidak kasat mata dan dibutuhkan pengujian laboratorium agar kadarnya
kentara. Selainitu, kata Husna, keracunan logam berat dampaknya baru terlihat
dalamjangka waktu lama. "Jangan sampai sepuluh tahun lagi kita memiliki
anak yangberusia 15 tahun yang menderita penyakit aneh akibat terpapar logam berat
dari mainan ketika masih kecil," ujarnya.
Menurutnya,
pemerintah harus bisa menarik produk yang diduga berbahaya dari pasaran untuk
mencegah dampak yang membahayakan. Di dunia internasional, sudah ada berbagai
peraturan yang bisa diadopsi untuk regulasi dalam negeri. Sebenarnya, kata
Husna, di Indonesia telah ada aturan mengenai kandungan bahan berbahaya ataupun
logam berat dalam produk. "Namun, karena mainan anak-anak belum masuk SNI
wajib, produk-produk yang diduga berbahaya itu tidak bisa ditarik dari
peredaran," ujarnya.
Menghadapi
ASEAN China Free Trade Area (ACFTA), Husna mengatakan Cina terkenal sebagai
negara dengan pengawasan dalam negeri yang rendah. Karena itu. ia mengimbau
konsumen perlu berhati-hati dengan produk yang masuk dari negara tersebut.
Perlindungan
kepentingan konsumen, menurut Kepala BSN, Bambang Setiadi, merupakan esensi
penerapan SNI. Penerapan SNI tidak bertujuan menghalangiperdagangan. Karena
menurutnya, bagaimana pun juga, dalam mekanisme perdagangan bebas terdapat
kebebasan aliran barang. Pemerintah sebagai regulator, menurutnya, harus
melindungi kepentingan rakyatnya.
Menyikapi
ACFTA, BSN telah menyusun 10 sektor prioritas yang diperkirakan akan terhadang
pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas ini. Kepala Pusat Perumusan Standar
BSN, Tengku Hanafiah, menerangkan, pihaknya mendapat penambahan anggaran dua
kali lipat dari yang diberikan sekarang dalam APBNP. Selain untuk perbaikan
infrastruktur di balai pengujian, anggaran tersebut menurutnya juga untuk
memberikan insentif bagi Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK).
Dengan
penerapan SNI, Tengku mengklaim tak hanya konsumen yang memperoleh manfaatnya.
Produsen pun ikut memetik manfaat berupa kenaikan penjualan seperti yang
dialami produsen air minum dalam kemasan dan produsen minyak goreng. Tapi
penerapan SNI juga tidak bisa diskriminatif karena melanggar peraturan
WTO." tandasnya. Bci5. ed andma
Entitas
terkaitBambang | BSN | Cina | Husna | Indonesia | Kepala | Ketua | Menyikapi | Pemerintah | Perlindungan | Produsen | SNI | Temuan | Tengku | YLKI | Penerapan SNI | Perlindungan Konsumen | Lembaga Penilaian Kesesuaian
| Pemerintah Amerika Serikat |
Standar Nasional Indonesia |
Data Badan Standardisasi
Nasional | Kepala Pusat Perumusan
Standar | Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia | Menghadapi ASEAN China Free
Trade Area | Ringkasan Artikel Ini
Data
Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan, baru ada empat Standar Nasional
Indonesia (SNI) di sektor mainan anak, yang pemberlakuannya pun masih sukarela.
Menurutnya, pemerintah harus bisa menarik produk yang diduga berbahaya dari
pasaran untuk mencegah dampak yang membahayakan. "Namun, karena mainan
anak-anak belum masuk SNI wajib, produk-produk yang diduga berbahaya itu tidak
bisa ditarik dari peredaran," ujarnya. Kepala Pusat Perumusan Standar BSN,
Tengku Hanafiah, menerangkan, pihaknya mendapat penambahan anggaran dua kali
lipat dari yang diberikan sekarang dalam APBNP. Produsen pun ikut memetik
manfaat berupa kenaikan penjualan seperti yang dialami produsen air minum dalam
kemasan dan produsen minyak goreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar