Sektor pertanian adalah motor penggerak perekonomian masyarakat Aceh. Pada
2005, memiliki lahan sawah beririgasi teknis seluas 96.683 ha, beririgasi
setengah teknis 44.230 ha dan beririgasi non teknis seluas 74.027 ha. Produksi
padi tercatat sebesar 1.411.649 ton Gabah Kering Giling (GKG) dimana mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2004 sebesar 1.552.083 atau 9,22%. Penurunan ini
akibat luasnya kerusakan lahan akibat tsunami. Secara umum padi sawah mendominasi
persediaan pangan dibandingkan dengan padi ladang, hanya berproduksi 8.509 ton
dibanding padi sawah dengan produksi 1.403.139 ton tahun.
Luas areal irigasi yang dikelola Dinas Sumber Daya Air Provinsi NAD terdiri
dari: (1) jaringan irigasi teknis; (2) setengah teknis dan (3) jaringan irigasi
sederhana (tradisional) dengan jumlah total luas areal potensial 214.940 ha
pada tahun 2005. Jika dibandingkan tahun 2004 dengan luas 214.939 ha terdapat
penurunan pada tanggal 26 Desember Tahun 2004 provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dilanda gempa yang sangat dahsyat, yang telah memporak porandakan seluruh asset
daerah, termasuk didalamnya aset irigasi. Sampai dengan tahun 2006 hanya 70%
dari daerah Irigasi yang berfungsi dengan baik dan 30% tidak berfungsi karena jaringan
yang belum lengkap atau mengalami degradasi akibat kurang pemeliharaan.
Potensi pertanian di Aceh sangat besar. Luas panen dan produksi padinya terus
meningkat dari 295.212 ha pada 2001 menjadi 337.893 ha (14,46%) pada 2005
dengan produksi sebanyak 1.246.612 ton pada 2001, meningkat menjadi 1.411.649
ton atau naik 13,24% pada 2005. Produksi kacang tanah, jagung/ kedele dan ubi
kayu/ ubi jalar juga meningkat. Luas panen dan produksi kacang tanah mengalami
penurunan dari 14.239 ha dan 16.887 ton pada 2003 menjadi 12.984 ha dan 15.598
ton pada 2005, sementara untuk jagung dari 25.188 ha dan 67.386 ton pada 2003
meningkat jadi 29.517 ha dan 94.246 ton. Ada pun luas lahan dan produksi ubi
kayu mencapai 6.098 ha dan 75.286 ton pada 2003 meningkat jadi 4.316 ha dan
53.424 ton pada 2005. Sedangkan kedelei dengan luas panen 14.519 ha dan
produksi 18.697 ton mengalami peningkatan luas panen 24.186 ha dan produksi
31.167 ton tahun 2005.
Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No.170/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni
2000, hutan di Aceh termasuk kawasan perairannya seluas 3.549.813 ha, dengan
3.335.713 ha di antaranya adalah daratan. Seluas 60,22% dari luas seluruh
daratan provinsi, kawasan hutan ini terdiri atas kawasan hutan konservasi,
hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
Pembabatan hutan di Aceh sangat fantastis selama periode 2002-2004, mencapai
350.000 ha atau setara lebih dari lima kali lipat luas daratan Singapura. Dari
jumlah yang mengkhawatirkan itu, hampir 60% praktik deforestasi terjadi
konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk
kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, misalnya perkebunan dan
kegiatan budidaya lainnya seluas lebih dari 156.000 ha. Deforestasi di luar
kawasan hutan menyumbang 45% dari total pembabatan hutan di Aceh. Deforestasi
inilah yang menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah hingga mencapai
angka 1,87 juta ha pada tahun 2002-2005,diantaranya tersebar pada 75% kawasan
konservasi dan hutan lindung. Jika di diamkan, kondisi ini jelas mengancam
keberlanjutan proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami.
Lebih dari 81% deforestasi terkonsentrasi pada 11 kabupaten di sepanjang pantai
barat-selatan dan wilayah Aceh Bagian Tengah. Sedangkan lebih dari 83%
degradasi hutan juga tersebar pada kawasan hutan di 11 kabupaten itu. Tujuh
kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan menyumbang deforestasi seluas
45,37%, sedangkan empat kabupaten di Aceh Bagian Tengah menyumbang 36,25%.
Sisanya tersebar di sepanjang pantai utara, timur, dan pulau-pulau di wilayah
administratif provinsi NAD.
Pada kawasan hutan produksi, sampai Desember 2003 terdapat delapan perusahaan
HPH yang masih aktif dengan total pengusaha hutan sebanyak 524.644 ha dan dua
perusahaan HPHTI menguasai 13.200 ha. Pada 2005, pemerintah telah mengaktifkan
kembali izin lima HPH untuk mengelola seluas 367.550 ha dan ini mengundang
banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Kapasitas jatah produksi pemegang HPH
menurut SK Menteri Kehutanan No. 357/ Menhut-VI/2005 sebesar 500.000 m³ per
tahun, dinilai terlalu besar dibandingkan dengan kebutuhan lokal sebanyak
215.249 m³, per tahun untuk merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh pasca
tsunami.
Di sektor perikanan, mengeksploitasi pesisir pantai sepanjang 1.660 km dengan
luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial
dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas
238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol,
tuna, dan tembang. Dari 1.660 km panjang garis pantai, 800 km di antaranya
rusak diterjang gelombang tsunami.
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan
perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan
air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan
dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar).
Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor
kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol,
tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004
mencapai 140.780,8 ton. Produksi 2006 ditargetkan meningkat menjadi 154.000
ton. Potensi ikan tangkap di Aceh 1,8 juta ton. Sektor perikanan hanya menyerap
257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68%
dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.
Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster
dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai
dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak
Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas
terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar
sampai pantai barat selatan Aceh.
Sejak 2000, sektor peternakan dikelola intensif terutama usaha penggemukan sapi
potong dan pemeliharaan ayam ras pedaging dan petelur. Bidang peternakan
mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan menjadi salah satu sektor unggulan
dan menunjang perekonomian masyarakat. Populasi peternakan sapi menurun 10,2%
dari 969.954 ekor pada 2004 menjadi 625.853 ekor pada 2005.
Produksi beberapa tanaman perkebunan pada 2005 mengalami penuruna dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi ini terjadi terhadap produksi karet yang
mengalami penurunan, 36,58% kelapa 12,29% dan kopi 6,23%. Sedangkan produksi
yang mengalami peningkatan adalah Pinang 12,3%, Kelapa Sawit 30,57%, dan Kemiri
13,70%. Untuk mengolah semua hasil perkebunan itu, hingga kini tercatat ada 21
unit pabrik kelapa sawit, 111 unit pengolahan kopi, 179 unit sarana penyulingan
pala, 29 unit alat penyulingan nilam, 2 unit pabrik pengolahan minyak kelapa, 2
unit pengolahan kakau, dan 4 unit pengolahan karet.
Usaha pertambangan umum telah dimulai sejak 1900. Daerah operasi minyak dan gas
di bagian utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 km² dan dilepas
pantai Selat Malaka 38.122,68 km². Perusahaan migas yang mengeksploitasi
tambang Aceh berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing) saat ini
adalah Gulf Resources Aceh, Mobil Oil-B, Mobil Oil-NSO, dan Mobil Oil-Pase.
Endapan batubara terkonsentrasi pada “Cekungan Meulaboh” di Kecamatan Kaway XVI
Kabupaten Aceh Barat. Terdapat 15 lapisan batubara hingga kedalaman ±100 meter
dengan ketebalan lapisan bekisar antara 0,5 m – 9,5 m. Jumlah cadangan terunjuk
hingga kedalam 80 meter mencapai ±500 juta ton, sedeangkan cadangan hipotesis
±1,7 miliar ton. Sumber: Indonesia Tanah Airku (2007).
Sumber Daya Alam lainnya
Kehutanan
Hasil hutan di Propinsi Aceh dalam buku BPS tahun 1998 tidak terlalu lengkap
dibandingkan sektor lain. Data yang ada hanya menunjukkan produksi kayu bulat
di setiap kabupaten, yang diperinci menurut PKT-HPH, IPK-HPH, dan IPK non-HPH.
Data kayu bulat propinsi Aceh tahun 1996/1997 sebagai berikut; PKT-HPH adalah
606.345,01 m3; IPK-HPH adalah 100.914,87 m3, dan IPK non HPH adalah 72.116,24
m3. Dengan demikian, total hasil kayu bulat Aceh pada tahun tersebut adalah
1.025.471,45 m3. Rujukan:(http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3437&Itemid=1544)
Jenis-jenis
Hutan di Indonesia
Berdasarkan Biogeografi
Kepulauan Nusantara adalah ketampakan alam yang muncul dari proses pertemuan
antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih
terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di
negeri kepulauan ini. Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk
khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan
Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah
cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik
buminya.
Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua
Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu
garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian
lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara
Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama
biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa sebaran
flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada
di daratan Benua Asia.
Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua
Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah
garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian
lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara
Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia.
Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan
bahwa sebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua
Australia.
Kawasan Wallacea / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis
Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara),
dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis
endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain
manapun di dunia). Namun, kawasan ini memiliki juga unsur-unsur baik dari
Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa
laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan
Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Kalaupun jenis Asia
tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis Australia di bagian
timur, hal ini karena Kawasan Wallacea sesungguhnya dulu merupakan palung laut
yang teramat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti
menyebar.
Berdasarkan iklim
Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis.
Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim
kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering
terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim,
yaitu:
·
Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh
antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera;
Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
·
Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei
dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini
mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
· Daerah tipe iklim C
(agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan
terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau
Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan
tropis, dan hutan muson.
Hutan gambutada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur
Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar
pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropismenempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini
menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan
Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili
Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea,Dipterocarpus, Dryobalanops, dan
Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae,
Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus
utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan musontumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan
sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati
(Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus
alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
Berdasarkan sifat tanahnya
Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan
mangrove, dan hutan rawa.
·
Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak
landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang
(Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina
equisetifolia), dan pandan (Pandanus tectorius).
·
Hutan mangrove Indonesia mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang
pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan
pantai selatan Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia,
Sonneratia, dan Rhizopheria.
·
Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya adalah nyatoh (Palaquium
leiocarpum), kempas (Koompassia spp), dan ramin (Gonystylus spp).
Berdasarkan Pemanfaatan Lahan
Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel
berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas
(Hektar) 1950 162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 juta.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang
mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai
berikut:
1. Hutan tetap : 88,27 juta ha
2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha
3. Hutan lindung : 22,10 juta ha
4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha
5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh
Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha),
Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan
Nusa Tenggara (2,7 juta ha).Rujukan
Industri
Di bidang industri, daerah Aceh memiliki potensi cukup besar terutama industri
hasil hutan, perkebunan, dan pertanian, seperti minyak kelapa sawit, atsiri,
karet, kertas, serta industri hasil pengolahan tambang yang belum berkembang
secara optimal. Jumlah industri di Aceh pada tahun 1998 menunjukkan data
seperti berikut: industri dasar 33 unit dengan tenaga kerja sekitar 5.928
orang; aneka industri 189 unit de¬ngan jumlah tenaga kerja 14.873 orang;
industri menengah dan kecil berjumlah 35.090 unit dengan tenaga kerja sekitar
129.477 orang. Total tenaga kerja yang bekerja di sektor industri berjumlah
150.278 orang, dengan tingkat pendidikan rata-rata sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP). Persoalan kualitas SDM menjadi salah satu kendala yang dihadapi
oleh Pemda Tingkat I Aceh, untuk dapat mengembangkan sektor industri di daerah
Serambi Mekkah ini.
Jenis industri yang ada meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau;
industri tekstil dan pakaian jadi; industri kayu, bambu, rotan, dan sejenisnya;
industri kertas dan barang-barang dari kertas; industri kimia dan barang-barang
dari kimia; industri logam dan barang-barang dari logam. Hasil produksi
komoditas industri utama berupa semen, pupuk, kayu gergajian, moulding chips,
plywood, dan kertas. Aceh memiliki sejumlah industri besar. Antaranya :
- PT. Arun
- PT. PIM
- PT. AAF
- Lafarge Semen Andalas
- Exxon Mobil
- CALTEX
Pertambangan
Potensi hasil tambang di Aceh, antara lain meliputi gas alam, minyak bumi, batu
bara, emas, dan tembaga. Gas alam dan minyak bumi yang ada di Arun dan daerah
lainnya di Aceh telah memberikan sum-bangan yang cukup besar terhadap devisa
negara. Sayangnya, jumlah yang diambil oleh pemerintah pusat selama lebih dari
tiga dekade pada masa Orde Baru terlalu besar, sementara yang dikembalikan
untuk rakyat Aceh terlampau kecil (tak lebih dari 5%). Selain itu, rakyat Aceh
sering diperlakukan kurang manu-siawi, terutama ketika DOM di Aceh (1989-1999)
diberlakukan oleh rezim Orde Baru, sehingga tidak mengherankan jika Aceh
bergolak. Semua yang terjadi sekarang di daerah Serambi Mekkah adalah akibat
dari perlakuan yang kurang adil dan manusiawi di masa lalu.
Daerah Aceh memiliki bahan tambang, seperti tem-baga, timah hitam, minyak bumi,
batubara, dan gas alam. Selain itu, terdapat tambang emas di daerah Aceh Besar,
Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Tambang biji besi terdapat di Aceh Besar,
Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Tambang mangan terdapat di Kabupaten Aceh
Tenggara dan Aceh Barat. Sementara tambang biji timah, batu bara, dan minyak
bumi terdapat di Aceh Barat dan Aceh Timur, yakni di Rantau Kuala dan Sim-pang
Peureulak, serta gas alam di daerah Lhok Sukon dan Kabupaten Aceh Utara.Rujukan
Perikanan
Hasil perikanan di Aceh terdiri dari perikanan darat dan laut. Potensi
perikanan laut di daerah Aceh cukup potensial, tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa hasil perikanan laut mencapai
110.817,1 ton dan perikanan darat mencapai 24.436,7 ton. Sedangkan pada tahun
1998 hasil produksi perikanan laut mencapai 114.778,4 ton dan perikanan darat
mencapai 23.228,4 ton. Hasil potensi perikanan di Aceh akan lebih banyak lagi
jika perikanan tersebut dikembangkan dengan menggunakan peralatan yang modern
dan canggih. Potensi perikanan, termasuk perikanan laut di kawasan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE); belum dimanfaatkan secara optimal. Rujukan
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar
ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari
Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas
Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai
120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada
tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi perikanan tersebut
merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen
(87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor
perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata
pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan
perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh,
hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap
berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh
Barat dan Aceh Selatan.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di
Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan
sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu
terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang
dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara,
Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat
pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan
pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan
sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan
kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9
triliun.Rujukan
Pasca Tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit
perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369
(24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain
itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota
rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami
mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai
kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal
dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu
parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang
tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian
mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan.
Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor
perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau
rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta
kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses
pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor
perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun),
karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah
besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian
yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi
pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.Rujukan
Peternakan
Di sektor peternakan, daerah ini menghasilkan ternak sapi potong, kerbau, kuda,
kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik. Hasil ternak
utama tahun 1997 adalah sebagai berikut: populasi kuda 9.843 ekor, sapi 680.027
ekor, kerbau 397.686 ekor, kambing 644.654 ekor, domba 149.738 ekor, ayam buras
15.157.846 ekor, ayam pedaging 1.108.100 ekor, ayam petelur 213.377 ekor, dan
itik 3.399.178 ekor.
Hasil ternak tahun 1998 adalah sebagai berikut: populasi kuda 10.264 ekor, sapi
potong 692.538 ekor, kerbau 389.679 ekor, kambing 663.131 ekor, domba 161.951
ekor, ayam buras 19.278.293 ekor, ayam pedaging 887.624 ekor, ayam petelor
228.727 ekor, dan itik 3.418.914 ekor. Data tersebut menunjukkan bahwa ada
peningkatan yang berarti untuk hasil ternak di Aceh. Semuanya meningkat kecuali
ayam pedaging. Rujukan
Pertanian dan Perkebunan
Daerah Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian dan perkebunan.
Pertanian di daerah Aceh meng-hasilkan beras, kedelai, ubi kayu, ubi jalar,
jagung, kacang kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Se-dangkan di bidang
perkebunan, daerah Aceh meng-hasilkan coklat, kemiri, karet, kelapa sawit,
kelapa, ko-pi, cengkeh, pala, nilam, lada, pinang, tebu, temba-kau, dan randu.
Produksi hasil pertanian di Aceh menunjukkan data-data berikut: luas panen padi
sawah dan ladang pada tahun 1997 adalah 337.561 Ha dengan produksi 1.382.905
ton; luas panen jagung adalah 25.312 Ha dengan produksi 58.312 ton; luas panen
ubi kayu adalah 4.795 Ha dengan produksi 59.782 ton; luas panen ubi rambat
adalah 3.220 Ha dengan produksi 31.345 ton; dan luas panen kacang kedelai
adalah 71.252 Ha dengan produksi 90.517 ton.
Jumlah panen hasil pertanian tahun berikutnya (1998) adalah seperti berikut:
luas panen padi sawah dan ladang 365-892 hektar, hasil produksinya 1.486.909
ton; luas panen ubi jalar 2.750 hektar, hasil produksinya 26.401 ton; luas
panen ubi kayu 5.477 hektar, hasil produksinya 65.543 ton.
Daerah Aceh juga banyak menghasilkan sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti
bawang merah, cabe, kubis, kentang, kacang panjang, tomat, ketimun, pisang,
mangga, rambutan, nangka, durian, jambu biji, pepaya, dan melinjo. Hasil
perkebunan utama dari Aceh pada tahun 1998 adalah kelapa sawit 258.315 ton dari
hasil perkebunan rakyat dan 231.798 ton dari perkebunan swasta besar; karet
47.620 ton hasil perkebunan rakyat dan 17.153 ton perkebunan besar; coklat
8.865 ton hasil perkebunan rakyat dan 1.821 ton perkebunan besar; kelapa.
89.801 ton hasil perkebunan rakyat; kelapa hebrida 4.088 ton hasil perkebunan
rakyat; kopi 41.244 ton hasil perkebunan rakyat; cengkeh 1.016 ton hasil
perkebunan rakyat; Pala 7.130 ton hasil perkebunan rakyat; nilam 250 ton hasil
perkebunan rakyat; kemiri 17.704 ton hasil perkebun¬an rakyat dan tebu 16.130
ton hasil perkebunan rakyat.
Sumber daya pertanian di Aceh tersebar di daerah Subulussalam, Singkil, Kota
Lokop, dan Pulau Banyak. Potensi hasil perkebunan rakyat dan kehutanan tersebar
di Krueng Jreu, Krueng Baro, Seulimun dan Takengon, meliputi komoditas utama
kayu, kulit kayu, dan rotan.Rujukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar