BAB
I
PENDAHULUAN
Berikut ini
adalah surat pembaca saudari Prita Mulyasari di Detik.com
yang membawa dia masuk penjara:
Jangan sampai kejadian
saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan
bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan
title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin
sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan
semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni
International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan
kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan
percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti
mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan
mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi
normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah
(umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab
ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama
yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter
specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya
karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr
H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan
bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya
diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga
pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan
menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000
(hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan
instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya
tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi
saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa
saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2
anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan
dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter
profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut
saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan
apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak
mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan
perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh
dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai
membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr
H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan
suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti
yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya
mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang
sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa
suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan
dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam
berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara.
Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan
yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan
suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan
diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya
masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan
seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya
dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan
keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu
diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut
penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000
menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya
belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri
dan mata kiri.
dr H tidak memberikan
penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi
ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan
infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung
jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat
jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan
yang memuaskan.
Keesokannya kondisi
saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas
kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi
dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan
lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis
diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu
kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama
sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000
bukan 27.000.
Saya ngotot untuk
diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab
27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat
itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut
mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka
saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab
tersebut.
Saya mengajukan
komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service
Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya
ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni
dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan
seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain
tertulis.
Dalam kondisi sakit
saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service
Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan
keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis
kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai
hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk
ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat
jalan.
Tanggapan dr G yang
katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional
sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab
telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta
duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan
dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan
memberikan surat
tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS
lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi
karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak
yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena
orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan
kista.
Saya lemas mendengarnya
dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa
sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis
tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut
ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi
sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang
kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah
dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok
pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang
rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan
surat tersebut.
Saya telepon dr G
sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru
mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata
belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia
mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar
kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah.
Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan
membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat
jelas surat tertujunya ke mana kan ?
Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan
permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og,
tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai
dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G,
akan datang ke Omni untuk mengambil surat
tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis
saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya
menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai
kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan
diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari
sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami
saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya
hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan
pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa
kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000
adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada
suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa
langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara
kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini
seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak
memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya
bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya
sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya
masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah
saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan
terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar
saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
BAB
II
ISI
ANALISA
Prita
Mulyasari (32 tahun) seorang ibu 2 orang anak mencintai keluarganya, juga
mencintai teman-teman-nya, juga sesamanya, DIPENJARA karena berusaha
memberitahu pengalaman pahitnya (bahkan membahayakan nyawanya) kepada
orang-orang yang dicintainya. Supaya orang-orang yang dia cintai tidak
mengalami hal serupa. Begitu kira-kira beritanya.
Cerita
ini berawal ketika Ibu Prita CURHAT di Surat Pembaca detik.com
(30/08/2008) yang isinya menceritakan pengalamannya berobat di RS OMNI Rumah
Sakit bertaraf Internasional. Dia juga membuat email ke teman-temannya
tentang pengalamannya tersebut.
Rupanya
ceritanya bersambung dan membesar layaknya Sinetron Indosiar, muncul setengah
halaman besar di Kompas tentang “Bantahan dan Sanggahan” dari RS OMNI. Singkat cerita, RS OMNI merasa
dicemarkan nama baiknya, dan membawa kasus ini ke Pengadilan.
Surat
elektronik itu membuat Omni berang. Menurut pengacara Omni Internasional, Heribertus,
isi surat Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta
sejumlah dokter mereka: Hengky Gosal dan Grace Hilza Yarlen Nela. ”Padahal,
tidak ada penyimpangan etika kedokteran dan prosedur penanganan pasien,” ujar
Heribertus.
Omni
memang tidak main-main menanggapi surat elektronik Prita. Selain melaporkan
Prita ke polisi, Omni juga menggugat perempuan tersebut secara perdata. ”Sudah
kami daftarkan ke Pengadilan Negeri Tangerang,” kata Heribertus.
Bagaimana Ibu Prita
Sekarang?
Ia
dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu. Prita kalah di persidangan
perdata. Naik banding. Ia juga menghadapi persidangan pidana dan dijerat Pasal
27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Prita “dititipkan” di penjara wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009.
Dua
anaknya yang masih balita pun terpaksa terpisah dari ibunya. Sudah tak
terbilang berapa kali Khairan Ananta Nugroho dan adiknya Ranarya Puandida
Nugroho, menanyakan keberadaan ibu mereka. Setiap menjelang tidur dan bangun
dari peraduan, keduanya mencari sang ibu sambil menangis. “Bunda mana?
Bundaaaaa,” jerit Ananta, 3 tahun, kala terjaga.
“Saya
jawab, ‘Ibu sedang dirawat di rumah sakit,’” tutur Andri Nugroho, 30 tahun,
ayah Ananta dan Ranarya, dengan wajah sedih kemarin di rumahnya, Bintaro Sektor
9, Tangerang Selatan. Lantaran istrinya tak kunjung pulang, Andri terpaksa
mengganti asupan ASI untuk anak bungsunya dengan susu formula. Ranarya, 1 tahun
3 bulan, diasuh bergantian oleh Andri dan pembantu rumah tangganya.
Pegawai
perusahaan swasta di Senen, Jakarta Pusat, ini terpaksa berbohong karena
anaknya masih terlalu kecil untuk memahami persoalan yang mendera Prita
Mulyasari, 32 tahun, ibu mereka. “Ini untuk kebaikan dan perkembangan psikologi
mereka.”
Prita
karyawati di bagian call center sebuah bank swasta. Perempuan kelahiran
1977 di Solo, Jawa Tengah, itu mendekam di Penjara Wanita Tangerang sejak 13
Mei lalu. Ia dituduh mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Alam
Sutra, Tangerang Selatan, lewat Internet. Ancaman hukuman pelanggaran
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
itu maksimal 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar.
Semua
bermula dari keluhan Prita atas pelayanan rumah sakit ketika dia dirawat pada
awal Agustus 2008 lewat surat elektronik. Semula ia divonis terjangkit demam
berdarah sehingga mesti rawat inap. Belakangan dokter menyatakan Prita terkena
virus udara.
Merasa
keluhannya tak ditanggapi, Prita menuliskan pengalamannya via e-mail
pada 15 Agustus 2008. Pihak rumah sakit menjawab keluhan lewat mailing list
dan dua koran nasional. Ia akan disidang pada 4 Juni nanti di Pengadilan Negeri
Tangerang. Sebelumnya, sidang perdata memutuskan Prita melanggar hukum. Tapi
kedua belah pihak menyatakan banding.
Perihatin….
hanya itu kata yang bisa terlontar… Sejujurnya, hati ini sesak tanpa tahu harus
berbuat apa. Menulis ini pun (barangkali) salah dan bisa dianggap mencemarkan
nama baik. Klu begitu berapa puluh blogger yang akan masuk penjara gara-gara menulis
seperti ini.
Media
televisi telah gencar beritakan kasus seorang ibu 2 anak yang kecewa dengan
pelayanan RS. Omni (Rumah Sakit Omni Internasional). Rasa kecewa itu
ditumpahkan (curhat) melalui email dan disebarkan melalui mailing list.
Akhirnya, berita kecewa itu menyebar dari satu email ke email lainnya, dari
milis A ke milis B, dan seterusnya hingga akhirnya terbaca oleh pihak RS. Omni.
Penyelesaian yang ditempuh dari pihak RS. Omni adalah dengan memperkarakan
Prita dan berujung pada penjara dengan delik aduan pencemaran nama baik.
Kisah
Prita yang didakwa dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Undang-Undang ITE) tentang pencemaran nama baik lewat dunia maya menimbulkan
reaksi kontraproduktif dari pengguna internet (netter & blogger) Indonesia.
Dengan teknologi internet, netter menumpahkan segala pendapat yang rata-rata
menentang kesewenanganRS. Omni dengan menuliskannya di blog, mendiskusikan di
forum online, milis, komentar blog, dan membuat komunitas maya mendukung
pembebasan Prita Mulyasari dengan Facebook, dll.
Hal
yang perlu dicermati adalah, kasus Prita dan RS. Omni telah menyebar dari mulut
ke mulut dalam bungkus teknologi internet. Apalagi para netter yang mempunyai
blog telah menuliskan pendapatnya di blognya masing-masing dan menciptakan
beragam komentar didalamnya. Mayoritas atau mungkin secara keseluruhan, para
netter menentang aksi yang dilakukan oleh RS. Omni. Hasilnya akan menciptakan
citra buruk bagi rumah sakit tersebut.
Google
adalah mesin pencari yang bertugas menyimpan informasi teks dan gambar dari
halaman website hasil publikasi dari blog/forum/milis. Melalui tautan link yang
ada dalam halaman website tersebut, Google akan berdansa menyimpan satu persatu
hingga jutaan kata kunci yang mengandung kata “Prita Mulyasari” dan “RS Omni”
dalam database pencarian. Kata kunci tersebut akan tersimpan abadi dalam
database Google dan sewaktu-waktu siap memuntahkannya pada hasil pencarian.
Coba saja berkunjung ke Google dan ketik kata-kata kunci tersebut. Luar biasa
dahsyat kecaman yang tersaji didalam Google bagi RS Omni.
Tanpa
kita sadari, hal tersebut adalah publikasi gratis bagi Prita dan RS. Omni
melalui dunia internet. Konsep internet marketing telah merasuk dalam menyikapi
masalah kedua pihak. Kecaman dan beragam tanggapan adalah review dari
pengguna internet (masyarakat) terhadap keberadaan sebuah produk. Kalau ditilik
dari kasus Prita dan RS. Omni, sisi konsumen adalah Prita dan masyarakat.
Sedangkan sisi penghasil produk adalah RS. Omni.
Salah
satu hal yang perlu dipelajari bersama adalah, paradigma baru dalam penyebaran
informasi produk bukan saja tercipta dari perusahaan yang bersangkutan, tetapi
lebih kepada partisipasi publik. Internet adalah media super cepat dalam
menyebarkan informasi dan mendapatkan partisipasi aktif didalamnya.
Jika
kita berbicara website komunitas jejaring sosial seperti Facebook, Myspace,
Friendster dll, jutaan orang rela untuk saling berbagi informasi disana.
Disamping itu, partisipasi dari para blogger dalam memberikan informasi apa
adanya akan menjadi kekuatan ampuh terhadap arus perubahan. Jika diolah untuk
bidang usaha, semua hal diatas adalah kekuatan dari sebuah internet marketing.
Beberapa diantara bentuk partisipatif masyarakat
terhadap kasus Prita dan RS. Omni :
Anggota
Komisi IX DPR-RI, Rudianto Tjen:
Seharusnya kasus Prita bukan harus dibawa ke wilayah hukum, tetapi cukup diselesaikan saja secara damai. Penegak hukum jangan terlalu kaku menerapkan undang-undang ITE sehingga terjadi penafsiran yang justru tidak berazas keadilan. Kami sudah menfasilitasi kasus Prita, namun tetap saja proses hukumnya berlanjut dan kami minta kasus Prita ini jangan dibawa ke wilayah politik. Keluhan terhadap pelayanan rumah sakit tidak hanya dialami Prita, tetapi sangat banyak, hanya sajak kasus Prita yang diangkat ke permukaan.
Saya pikir kasus Prita jangan terlalu dibesar-besarkan karena jujur saja banyak warga miskin yang belum mendapatkan pelayanan optimal dari pihak rumah sakit karena tidak punya uang untuk berobat. Seharusnya, warga miskin yang belum mendapatkan pelayanan medis secara optimal ini juga menjadi perhatian serius dari pemerintah.
Seharusnya kasus Prita bukan harus dibawa ke wilayah hukum, tetapi cukup diselesaikan saja secara damai. Penegak hukum jangan terlalu kaku menerapkan undang-undang ITE sehingga terjadi penafsiran yang justru tidak berazas keadilan. Kami sudah menfasilitasi kasus Prita, namun tetap saja proses hukumnya berlanjut dan kami minta kasus Prita ini jangan dibawa ke wilayah politik. Keluhan terhadap pelayanan rumah sakit tidak hanya dialami Prita, tetapi sangat banyak, hanya sajak kasus Prita yang diangkat ke permukaan.
Saya pikir kasus Prita jangan terlalu dibesar-besarkan karena jujur saja banyak warga miskin yang belum mendapatkan pelayanan optimal dari pihak rumah sakit karena tidak punya uang untuk berobat. Seharusnya, warga miskin yang belum mendapatkan pelayanan medis secara optimal ini juga menjadi perhatian serius dari pemerintah.
Pengamat
hukum telematika Universitas Atma Jaya, Ronny:
Perbuatan Prita tak memenuhi unsur dilakukan di depan umum dan keluh kesah Prita hanya merupakan bentuk kritik, nasihat untuk kepentingan umum dan curahan hati atas pelayanan buruk oleh beberapa dokter di RS Omni Internasional.
Keluh kesah Prita justru memenuhi unsur dalam pasal 310 ayat 3 KUHP yang menyebutkan, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Hal lain yang menguatkan Prita, karena penggunaan pasal 310 ayat 2 KUHP. Pasal 310 tersebut hanya menunjuk pada bukti tulisan atau surat. Sementara email yang dikirimkan Prita ke sejumlah teman-temannya merupakan bukti elektronik, sebab email adalah jenis informasi atau dokumen elektronik.
Selain itu, tidak ada bukti elektronik yang menunjukkan Prita secara sengaja menyebarkan informasi elektronik agar dapat diakses secara terbuka melalui milis, blog ataupun website. Dia hanya mengirim ke beberapa akun email teman-temannya yang hanya dapat diakses secara tertutup.
Karena tertutup, jadi tak memenuhi unsur di muka umum. Dalam pasal 6 UU ITE, informasi elektronik sah jika informasi itu dapat ditampilkan, dijamin keutuhannya, dapat diakses dan menerangkan suatu keadaan tertentu.
Isi email Prita yang tersebar di milis yang merupakan hasil forward (diteruskan) oleh seseorang, tidak dapat dijamin keutuhannya, karena mungkin telah mengalami perubahan dalam proses forward itu. Karena email forward tidak dapat dijamin keutuhannya dari email sebenarnya, maka tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dalam kasus Prita, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan surat elektronik yang merupakan hasil forward yang jelas tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah.
Untuk mengetahui keautentikan email forward, jaksa seharusnya melibatkan ahli. Teknologi Informasi (TI) untuk menelusuri jejak pengiriman email dari Prita hingga ke pihak yang menyebarkan di milis. Dengan begitu, bisa diketahui siapa yang menyebarkan email ke ranah publik dan pihak itulah yang seharusnya dituntut.
Perbuatan Prita tak memenuhi unsur dilakukan di depan umum dan keluh kesah Prita hanya merupakan bentuk kritik, nasihat untuk kepentingan umum dan curahan hati atas pelayanan buruk oleh beberapa dokter di RS Omni Internasional.
Keluh kesah Prita justru memenuhi unsur dalam pasal 310 ayat 3 KUHP yang menyebutkan, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Hal lain yang menguatkan Prita, karena penggunaan pasal 310 ayat 2 KUHP. Pasal 310 tersebut hanya menunjuk pada bukti tulisan atau surat. Sementara email yang dikirimkan Prita ke sejumlah teman-temannya merupakan bukti elektronik, sebab email adalah jenis informasi atau dokumen elektronik.
Selain itu, tidak ada bukti elektronik yang menunjukkan Prita secara sengaja menyebarkan informasi elektronik agar dapat diakses secara terbuka melalui milis, blog ataupun website. Dia hanya mengirim ke beberapa akun email teman-temannya yang hanya dapat diakses secara tertutup.
Karena tertutup, jadi tak memenuhi unsur di muka umum. Dalam pasal 6 UU ITE, informasi elektronik sah jika informasi itu dapat ditampilkan, dijamin keutuhannya, dapat diakses dan menerangkan suatu keadaan tertentu.
Isi email Prita yang tersebar di milis yang merupakan hasil forward (diteruskan) oleh seseorang, tidak dapat dijamin keutuhannya, karena mungkin telah mengalami perubahan dalam proses forward itu. Karena email forward tidak dapat dijamin keutuhannya dari email sebenarnya, maka tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dalam kasus Prita, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan surat elektronik yang merupakan hasil forward yang jelas tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah.
Untuk mengetahui keautentikan email forward, jaksa seharusnya melibatkan ahli. Teknologi Informasi (TI) untuk menelusuri jejak pengiriman email dari Prita hingga ke pihak yang menyebarkan di milis. Dengan begitu, bisa diketahui siapa yang menyebarkan email ke ranah publik dan pihak itulah yang seharusnya dituntut.
Pengacara
Prita Mulyasari, Slamet Yuwono:
Ada landasan hukum bagi pasien yang meminta
rekam medis karena adalah hak untuk mendapatkannya. Landasan hukum tentang hak
mendapatkan rekam medis bagi pasien adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis pada pasal I ayat (1) yakni rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang telah diberikan kepada
pasien.
Selama menjadi pasien di RS Omni Tangerang, 7 Agustus 2008 hingga 12 Agustus 2008 bahwa Prita tidak pernah mendapatkan rekam medis termasuk dokumen laboratorium yang menyatakan hasil pemeriksaan darah menunjukkan trombosit sebesar 27.000.
Setelah lima hari dirawat di RS Omni, Prita merasa tidak mendapatkan perkembangan mengenai kesehatannya, bahkan mengalami pembengkakan pada leher dan tangan sebelah kiri serta mata, akibatnya memilih untuk pulang dan pindah ke RS Internasional Bintaro.
Selama menjadi pasien di RS Omni Tangerang, 7 Agustus 2008 hingga 12 Agustus 2008 bahwa Prita tidak pernah mendapatkan rekam medis termasuk dokumen laboratorium yang menyatakan hasil pemeriksaan darah menunjukkan trombosit sebesar 27.000.
Setelah lima hari dirawat di RS Omni, Prita merasa tidak mendapatkan perkembangan mengenai kesehatannya, bahkan mengalami pembengkakan pada leher dan tangan sebelah kiri serta mata, akibatnya memilih untuk pulang dan pindah ke RS Internasional Bintaro.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, maka
dapat kita simpulkan bahwa pentingnya mempelajari masalah komunikasi
supaya masalah itu tidak terulang pada kita.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari ada
kekurangan dan kesilapan. Untuk itu, masih banyak hal yang harus diperbaiki dan
ditingkatkan guna menyempurnakan penulisan tentang bagaimana analisa
kasus komunikasi.
Berdasarkan pengalaman selama pelaksanaan penulisan,
penulis menghimbau kepada mahasiswa yang akan melakukan penuliasan dimasa
mendatang, diharapkan dapat memahami materi kuliah sebelum melakukan penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Soemarto. 2008. Kasus komunikasi. Jakarta; Erlangga.
Kartasapoetra, dkk. 2009. Cara mengatasi kasus dan masalah komunikasi.
Jakarta; Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar