Jumat, 17 Februari 2012

Kesejahteraan Petani dan Ketersediaan Lahan




Sudah menjadi tradisi, menjelang Ramadhan dan hari besar keagamaan lainnya, harga komoditas kebutuhan pokok melonjak naik. Bahkan, lonjakan harga yang melampaui batas kewajaran selalu menghiasi pasar-pasar. Banyak yang berprasangka, sikap prinsip ekonomi ini diakibatkan ulah oknum yang mengatur jaringan distribusi dan pemasaran.
Bahkan, isu yang berkembang, distributor dan pedagang bekerja sama dengan produsen secara tertutup. Pada akhirnya, kenaikan harga kebutuhan pokok (sembilan bahan pokok), di antaranya, beras, gula, terigu, daging, ayam, dan telur menjadi sulit dikendalikan.
Seperti yang banyak diprediksi, kenaikan harga kebutuhan pokok akibat ulah para oknum para pedagang dan si pengatur jaringan distribusi. Ironisnya, kenaikan harga itu tidak berimbas langsung pada kesejahteraan petani. Karena itu, jaringan distribusi inilah yang harus dibenahi. Seperti yang disampaikan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Oesman Sapta Oedang, kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tidak dinikmati petani. Katanya, kenaikan harga sembako bukan akibat produksi atau ketersediaannya terbatas, melainkan, rantai distribusi yang harus dibenahi.
Idealnya, jika memang ada kenaikan harga akibat inflasi ekonomi, setidaknya dinikmati langsung oleh petani. Bila ini sulit diimplementasikan, yakni antara kenaikan harga dan keuntungan petani, kebijakan pemeirntah belum berpihak kepada kesejahteraan petani.  
Data yang didapati, jumlah penduduk di sektor pertanian mencapai 45 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, kontribusi terhadap produksi nasional hanya sekitar 17 persen. Artinya, 45 persen penduduk di sektor pertanian hanya mendapatkan 17 persen dari hasil produksi nasional, sementara 53 persen penduduk Indonesia menikmati 83 persen produksi nasional.
Data ini menunjukkan, telah terjadinya kesenjangan antara sektor pertanian dengan nonpertanian. Fenomenanya, saat ini terjadi kesenjangan antara sektor pertanian dan nonpertanian, antara kota dan desa, serta antara kaya dan miskin.
Sementara, untuk mengatasi permasalahan ini, HKTI melakukan upaya terus-menerus untuk meningkatkan produktivitas per hektare lahan. Selain itu, HKTI juga mendorong perluasan areal produksi. Saat ini tersedia 188,2 juta hektare tanah dengan 94 juta hektare di antaranya cocok untuk pertanian.
Akibat kenaikan harga tidak menguntungkan petani, seharunya, pemerintah dan para pemangku kewenangan di bidang pangan lebih memperhatikan stabilitas harga. Kalau ada kenaikan harga akibat inflasi, hendaknya kenaikan itu juga dinikmati petani., artinya pembangunan pertanian kita gagal.
Pernyataan kontroversial justru muncul dari Badan Pusat Statistik (BPS). Petani Indonesia dipersepsikan makin sejahtera pada Juli 2010. Fakta ini berdasarkan survei BPS untuk nilai tukar petani pada Juli 2010 yang berada diangka 101,77 atau naik 0,38 persen. Angka itu mengindikasikan sinyal yang baik bagi petani.
Dari pantauan BPS terhadap harga-harga perdesaan di 32 provinsi di Indonesia, pada Juli 2010 secara nasional nilai tukar petani menunjukkan angka baik karena naik 0,38 persen dibanding Juni 2010. Kenaikan nilai tukar petani ini disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih tinggi dibandingkan kenaikan indkes harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian.
Nilai tukar petani digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Nilai tukar petani itu, diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam prosentase). Angka ini merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaaan. 100 berarti mengindikasikan, bahwa rasa optimisme para petani atas kesejahteraan mereka.

Ketersediaan Lahan Pertanian
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan, jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Kemudian pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
Kemudian, daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering. Dan, pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar