Sudah menjadi tradisi, menjelang Ramadhan dan hari
besar keagamaan lainnya, harga komoditas kebutuhan pokok melonjak naik. Bahkan,
lonjakan harga yang melampaui batas kewajaran selalu menghiasi pasar-pasar.
Banyak yang berprasangka, sikap prinsip ekonomi ini diakibatkan ulah oknum yang
mengatur jaringan distribusi dan pemasaran.
Bahkan,
isu yang berkembang, distributor dan pedagang bekerja sama dengan produsen
secara tertutup. Pada akhirnya, kenaikan harga kebutuhan pokok (sembilan bahan
pokok), di antaranya, beras, gula, terigu, daging, ayam, dan telur menjadi
sulit dikendalikan.
Seperti
yang banyak diprediksi, kenaikan harga kebutuhan pokok akibat ulah para oknum
para pedagang dan si pengatur jaringan distribusi. Ironisnya, kenaikan harga
itu tidak berimbas langsung pada kesejahteraan petani. Karena itu, jaringan
distribusi inilah yang harus dibenahi. Seperti yang disampaikan Ketua Umum
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Oesman Sapta Oedang, kenaikan harga
komoditas kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tidak dinikmati petani. Katanya,
kenaikan harga sembako bukan akibat produksi atau ketersediaannya terbatas,
melainkan, rantai distribusi yang harus dibenahi.
Idealnya, jika memang ada kenaikan harga akibat
inflasi ekonomi, setidaknya dinikmati langsung oleh petani. Bila ini sulit
diimplementasikan, yakni antara kenaikan harga dan keuntungan petani, kebijakan
pemeirntah belum berpihak kepada kesejahteraan petani.
Data yang didapati, jumlah penduduk di sektor
pertanian mencapai 45 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, kontribusi
terhadap produksi nasional hanya sekitar 17 persen. Artinya, 45 persen penduduk
di sektor pertanian hanya mendapatkan 17 persen dari hasil produksi nasional,
sementara 53 persen penduduk Indonesia menikmati 83 persen produksi nasional.
Data ini menunjukkan, telah terjadinya kesenjangan
antara sektor pertanian dengan nonpertanian. Fenomenanya, saat ini terjadi
kesenjangan antara sektor pertanian dan nonpertanian, antara kota dan desa,
serta antara kaya dan miskin.
Sementara, untuk mengatasi permasalahan ini, HKTI
melakukan upaya terus-menerus untuk meningkatkan produktivitas per hektare
lahan. Selain itu, HKTI juga mendorong perluasan areal produksi. Saat ini
tersedia 188,2 juta hektare tanah dengan 94 juta hektare di antaranya cocok
untuk pertanian.
Akibat
kenaikan harga tidak menguntungkan petani, seharunya, pemerintah dan para
pemangku kewenangan di bidang pangan lebih memperhatikan stabilitas harga.
Kalau ada kenaikan harga akibat inflasi, hendaknya kenaikan itu juga dinikmati
petani., artinya pembangunan pertanian kita gagal.
Pernyataan kontroversial justru muncul dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Petani Indonesia dipersepsikan makin sejahtera pada Juli
2010. Fakta ini berdasarkan survei BPS untuk nilai tukar petani pada Juli 2010
yang berada diangka 101,77 atau naik 0,38 persen. Angka itu mengindikasikan
sinyal yang baik bagi petani.
Dari pantauan BPS terhadap harga-harga perdesaan di 32
provinsi di Indonesia, pada Juli 2010 secara nasional nilai tukar petani
menunjukkan angka baik karena naik 0,38 persen dibanding Juni 2010. Kenaikan
nilai tukar petani ini disebabkan kenaikan indeks harga hasil produksi
pertanian lebih tinggi dibandingkan kenaikan indkes harga barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian.
Nilai tukar petani digunakan sebagai indikator untuk
menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang
dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Nilai tukar petani itu, diperoleh dari
perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang
dibayar petani (dalam prosentase). Angka ini merupakan salah satu indikator
untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaaan. 100 berarti
mengindikasikan, bahwa rasa optimisme para petani atas kesejahteraan mereka.
Ketersediaan Lahan Pertanian
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian
cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan, jika di suatu lokasi
terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya
juga beralih fungsi secara progresif.
Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama,
sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih
fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif
untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya
permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di
sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat
merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Kemudian pelaku pembelian tanah biasanya bukan
penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang
secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Secara empiris lahan
pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut
disebabkan oleh kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem
dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
Kemudian, daerah pesawahan banyak yang lokasinya
berdekatan dengan daerah perkotaan. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya,
infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan
kering. Dan, pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar. Maraknya
fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua
pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar